PIKIRAN RAKYAT - Belum lama ini, pemerintah terlihat semakin gencar dan tegas melarang penjualan produk pakaian bekas impor atau thrift. Menteri Perdagangan bahkan melakukan pertunjukan pembakaran pakaian bekas impor di beberapa lokasi. Larangan ini sebenarnya sudah ada sejak dua tahun lalu melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021. Namun, realitasnya tak semudah itu menerapkan aturan di lapangan karena ternyata pasar pakaian bekas masih besar alias permintaannya masih tinggi.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Kebijakan pemerintah dianggap tidak menyentuh persoalan yang sebenarnya. Industri tekstil nasional tidak terlalu terpengaruh oleh impor pakaian bekas, tapi justru terpengaruh oleh besarnya porsi impor tekstil nasional, yang didominasi oleh impor tekstil dan berbahan tekstil dari China dan negara lainya.
Datanya memang menunjukan demikian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam 5 tahun terakhir Indonesia memang kebanjiran rata-rata 2,25 juta ton produk tekstil tiap tahunnya. Volume impor tekstil Indonesia juga tercatat meningkat 21,11 persen menjadi 2,2 juta ton pada 2021 dibanding tahun sebelumnya. Lima negara asal impor terbesar adalah Tiongkok: 990,20 ribu ton, Brasil: 174,80 ribu ton, Amerika Serikat: 137,90 ribu ton, Korea Selatan: 122,10 ribu ton, dan Australia: 115,90 ribu ton.
Baca Juga: Babak Baru Dugaan Baju Thrift Dibawa Pulang Aparat untuk Lebaran, Polisi Beberkan Temuan Terkini
Jadi, sangat bisa dipahami penolakan dari banyak pihak atas kebijakan larangan impor pakaian bekas di Indonesia, karena tak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya yang ada di seputar tekstil dan industri tekstil. Persoalan utama industri tekstil kita adalah pelemahan daya saing dibanding industri tekstil di negara-negara tetangga. Dalam bahasa ekonomi, industri tekstil kita terancam gelombang deinduatrialisasi. Ditambah tekanan resesi global yang terjadi sejak pertengahan tahun lalu.
Oleh karena itu, industri yang sangat strategis ini layak mendapatkan dukungan serius dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kota serta kabupaten. Beberapa hal perlu dilakukan oleh pemerintah agar industri TPT bisa kembali berjaya.
Pertama, pemerintah perlu mendorong masuknya teknologi terbaik di sektor TPT, guna meningkatkan kualitas, produktivitas, efisiensi, maupun untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berkembang.
Artinya, pemerintah wajib membantu industri untuk mengganti mesin-mesin TPT yang sudah usang dengan yang lebih modern dan efisien, antara lain dengan memberikan kredit program yang bunganya disubsidi, misalnya. Karena melihat perkembangan insdustri saat ini, modernisasi mesin layak diberi prioritas, antara lain karena di industri tersebut banyak yang masih berkategori usaha kecil-menengah (UKM) yang umurnya sudah tua.