kievskiy.org

Pemimpin Itu Melayani, Bukan Sekadar Menebar Janji

Ilustrasi sosok pemimpin.
Ilustrasi sosok pemimpin. /Pixabay/OpenClipart-Vectors Pixabay/OpenClipart-Vectors

PIKIRAN RAKYAT - Menjadi pemimpin di negeri ini pada pandangan Syafii Antonio masuk kategori high cost, apalagi pintu satu-satunya untuk menjadi pemimpin harus melalui partai politik. Sungguhpun ada jalur independen, tetapi persyaratannya sangat rumit dan panjang—ketika ditakdirkan terpilih—juga tidak memiliki legitimasi dan dukungan politis yang cukup kuat di parlemen.

Kondisi semacam ini semakin diperparah dengan mindset pemilih yang masih pragmatis-transaksional.

Pragmatisme-transaksional masih menjadi persoalan tersendiri dalam konteks pemilihan pemimpin di negeri ini, apalagi dengan atas nama kekuasaan menghalalkan segala cara. Mulai dari keinginan untuk terus berkuasa dengan menggandeng oligarki, sampai melakukan tindak kecurangan, lancung dan tindakan tidak mendidik masyarakat lainnya melalui piranti-piranti kekuasaan.

Pola pragmatisme-transaksional yang sangat dominan “sesama saudara akan saling memakan”, kanibalisme politik seperti ini juga akan melahirkan pemimpin yang tidak mengandalkan integritas dan visi yang dibangun tetapi karena kekuatan kapital, uang yang dimilikinya. Sisi lain mereka yang potensial menjadi pemimpin tetapi dengan modal pas-pasan akan mudah—kalau tidak dipastikan—tersingkir, kecuali terjadi keajaiban.

Pragmatisme-Transaksional Pemilih

Alfan Alfian menegaskan bahwa dimensi pendidikan politik lah yang harus mengemuka. Kalaupun kalah karena tidak ingin berbuat curang dan karena memiliki prinsip menolak pragmatisme-transaksional yang tidak masuk akal, maka itu lebih terhormat, ketimbang menang tetapi curang, lancung, dan tidak mendidik masyarakat.

Baca Juga: Pembangunan Masjid Al Jabbar Tak Sesuai RTRW Bandung 2011-2031, Ridwan Kamil Harus Perhatikan Transparansi

Alfan Alfian dengan mengutip pandangan politisi Nurul Arifin, pernah menganalogikan praktik pemilu legislatif 2014—dan boleh jadi juga akan terjadi di 2024—laksana perang saudara di Suriah yang sangat ganas, tidak ada lagi etika, karena sesama saudara akan saling ‘memakan’.

Persaingannya sangat tajam, sebab yang diperebutkan berdasarkan suara terbanyak. Seorang caleg akan berkompetisi dengan sesama rekannya dalam satu parpol dan parpol lainnya. Tidak ada saudara dalam kompetisi electoral, yang ada adalah lawan. Inilah konsekuensi dari kanibalisme-politik yang tak terelakkan dan nyata dalam praktik pemilu kita.

Kanibalisme politik ini juga diperparah lagi dengan ongkos politik yang sangat tinggi. Tuntutan ongkos politik yang sangat tinggi, pemantiknya karena masyarakat memiliki keberanian untuk meminta uang dan lainnya kepada calon pemimpin. Praktik pragmatisme-transaksional sedemikian kental di tengah-tengah masyarakat menyebabkan para calon pemimpin yang memiliki sejumlah kapital akan berpeluang menang.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat