kievskiy.org

Kesejahteraan Rakyat Masih Jadi PR, Apakah Indonesia Tergolong sebagai Negara Etis?

Ilustrasi rakyat.
Ilustrasi rakyat. /Pixabay/KELLEPICS

PIKIRAN RAKYAT - Pada dasarnya politik merupakan alat untuk mengantarkan suatu masyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam politik, para aktor menggodok segala kebijakan publik yang menentukan nasib khalayak banyak.

Karena itu, kebijakan publik yang baik dan menguntungkan masyarakat akan terjadi jika sistem politik atau pemerintahan suatu negara juga baik. Kata “baik” yang dimaksud di sini adalah baik secara etis atau moral.

Berbekal logika yang sama, jika kondisi politik sekarang tampak riuh dengan segala kritik terhadap negara yang dikelola oleh pemerintah, ini tampaknya mengindikasikan negara dianggap belum menunaikan tugas etisnya untuk membawa kesejahteraan dan keadilan yang diidam-idamkan rakyat.

Oleh karena itu, negeri ini dan para elit politiknya mesti bertekad mengakselerasi niat serta perjalanan mereka merintis negara yang etis.

Baca Juga: Dikotomi dan Stigma dalam Pendidikan di Indonesia

Indikator Filosofis

Suatu perjalanan tentu membutuhkan tujuan yang jelas. Jika kita ingin membangun negara yang baik secara etika, kita tentu mesti tahu dulu definisi negara etis. Dengan demikian, kita bisa menyusun semacam daftar periksa (checklist) sebagai alat ukur (yardstick) untuk mengetahui apakah negara kita sungguh sudah etis atau belum.

Merujuk Muhammad Azhar dalam Filsafat Politik (Rajawali Pers, 1997) yang menyarikan pendapat puluhan filsuf politik dari dunia Barat maupun Islam, setidaknya ada enam indikator untuk menyebut suatu negara bisa dikatakan etis.

Pertama, negara perlu mewujudkan demokrasi di bidang sosial-ekonomi-politik. Kedua, pemerintahan suatu negara mesti mementingkan masalah stabilitas negara dan kelanjutan pembangunan serta mencamkan bahwa perubahan sosial yang ideal haruslah merupakan hasil kerja sama rakyat dan negara. Ketiga, negara harus mementingkan aspek profesi dan pengadaan kerja.

Keempat, rakyat tidak dibenarkan secara etis untuk taklid buta (patuh tanpa daya kritis) terhadap kekuasaan. Sikap oposan loyal itu niscaya bagi perimbangan kekuasaan (checks and balances).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat