kievskiy.org

Tepak Kendang Bandung Kidul

Ilustrasi tari jaipong.
Ilustrasi tari jaipong. /Antara/Agus Bebeng

PIKIRAN RAKYAT - Seorang teman mengajak saya ke Padepokan Jugala di Kopo. Di situ saya berbincang-bincang dengan Mira Tejaningrum (55), koreografer dan anak sulung dari empat bersaudara keturunan maestro seni Sunda yang kini telah tiada, Euis Komariah dan Gugum Gumbira.

Mira tidak menyanyi seperti ibunya, tapi menari seperti ayahnya. Dia berlatih jaipongan sejak umur 13 tahun dan sering jadi duta Indonesia di pentas seni mancanegara. Dialah penerus almarhum dalam olah tari di Jugala.

Tentu, situasinya sangat berbeda dari akhir 1970-an tatkala jaipongan menggeliat ke seantero Indonesia dan kaset pita diandalkan buat menjangkau keluasan publiknya. Sepeninggal Bu Euis dan Pak Gugum, Mira dan kawan-kawan mesti menyiasati situasi baru. Dan itulah salah satu pangkal obrolan kami siang itu.

Di telinga saya, "jugala" bukan nama asing. Itu istilah Sunda untuk "orang kaya". Di lingkungan kerja Pak Gugum, istilah ini jadi akronim dari "juara dalam gaya dan lagu". Cocok betul dengan kerja budaya di Kopo dulu: olah tari dan produksi rekaman, menciptakan gaya dan merilis lagu. Pak Gugum ngibing, Bu Euis ngahaleuang.

Baca Juga: Asal-usul Jaipong, Tarian yang Dianggap Mempersatukan Masyarakat Sunda

Ya, orang bisa kaya dengan mengolah lagu dan gaya. Kenapa tidak? Yang jelas, "juara" di situ bukan sekadar slogan seperti yang belakangan suka dipakai oleh politisi Bandung yang gemar bersolek main citra. "Juara" zaman Pak Gugum, saya kira, benar-benar unggul.

Memang, sesekali terdengar keberatan dari kalangan gedongan lagi puritan. Namun, jaipongan rupanya terlalu dinamis buat dipadamkan. Lagi pula, orang diam-diam doyan juga dengan goyang, gitek, dan géol. Jaipongan bahkan masuk istana, juga diutus ke mancanegara. Tak kurang dari putri Presiden Soeharto sendiri, setahu saya pernah ikut belajar jaipongan. Tarik, Mang!

Tarikolot

Tempatnya seluas 2000-an meter persegi, terletak di tepi kanan jalan Kopo (kini Wahid Hasyim), sebelum pertélon Pasirkoja. Tiada papan nama. Selembar vertical banner bekas keriaan Agustusan di mulut gang seakan jadi satu-satunya petunjuk ke Jugala.

Pada masanya Padepokan Jugala merupakan salah satu titik kumpul kalangan kreatif. Para pegiat karawitan, teater, sastra, dan lainnya sering meriung di situ. Sekarang, keadaan di situ tampak seperti pusat kegiatan yang narikolot. Bilik rekaman kini kosong, gelap, dan sunyi. Daun-daun berguguran di lantai sanggar.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat