kievskiy.org

Pengajar dalam Tantangan Global: Telaah Kritis tentang Kebijakan Pendidikan Guru Penggerak

Ilustrasi guru.
Ilustrasi guru. /Antara/Akbar Tado

PIKIRAN RAKYAT - Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang dengan pesat tidak dapat lagi diikuti dengan kasat mata sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang rumit dan kompleks, serta memerlukan pemecahan secara proporsional.

Hal tersebut telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap berbagai bidang kehidupan sehingga menuntut teknologi dan inovasi baru dalam menghadapinya, termasuk dalam bidang pendidikan. Untuk mengantisipasi itu semua, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengeluarkan salah satu kebijakannya tentang Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak.

Walaupun kebijakan ini juga menimbulkan persoalan baru, karena kalau kita tilik pada Pasal 13 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak bahwa syarat untuk menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, ataupun penugasan lain di bidang pendidikan, harus memiliki sertifikat guru penggerak.

Di tengah pelaksanaan program guru penggerak yang belum optimal dan belum seluruh guru mengikuti program guru penggerak, persyaratan ini tentu berpotensi diskriminatif dan melangggar HAM.

Baca Juga: Pemerintah dan Pengusaha Harus Bersinergi demi Lingkungan, Wariskan Mata Air dan Bukan Air Mata

Benang Kusut Dunia Pendidikan Kita

UUGD Pasal 82 mengamanatkan bahwa pemenuhan kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik bagi para guru, harus sudah diselesaikan paling lama 10 tahun sejak berlakunya UUGD. Akan tetapi pemerintah sendiri telah melenceng jauh dari itu, sampai saat ini pun masih terdapat guru-guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik D-IV atau S-1 dan belum memiliki sertifikat akademik sebagai bukti keprofesionalannya.

Persoalan kepastian dan kejelasan status, jenjang karier, kesejahteraan, dan perlindungan guru pun menjadi benang kusut tata kelola guru di Indonesia. Sebagai contoh terkait problematika jenjang karier, kini berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak bahwa syarat untuk menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, ataupun penugasan lain di bidang pendidikan, harus memiliki sertifikat guru penggerak.

Di tengah pelaksanaan program guru penggerak yang belum optimal dan belum seluruh guru mengikuti program guru penggerak, persyaratan ini tentu berpotensi diskriminatif dan melangggar HAM.

Belum lagi dalam Pasal 6 huruf d Permendikbud-Ristek No 26 Tahun 2022 menyebutkan bahwa calon peserta pendidikan guru penggerak harus memenuhi persyaratan salah satunya ialah memiliki masa sisa mengajar tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun. Ketentuan ini tentu dapat mematikan proses pemelajaran, pengembangan keprofesionalan, dan jenjang karier guru.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat