kievskiy.org

Demokrasi Milenial: Civic Education Diambil Alih oleh Civic Entertainment

Pengunjung melintas di depan panel informasi tentang iklim saat menghadiri diskusi Rembuk Kebangsaan Untuk Iklim pada Indonesia Net-Zero Summit 2023 di Jakarta Theater, Jakarta, Sabtu (24/6/2023). Diskusi yang diikuti para generasi milenial tersebut menyoroti keseriusan para calon pemimpin bangsa dalam menanggapi krisis iklim dan bonus demografi 2045
Pengunjung melintas di depan panel informasi tentang iklim saat menghadiri diskusi Rembuk Kebangsaan Untuk Iklim pada Indonesia Net-Zero Summit 2023 di Jakarta Theater, Jakarta, Sabtu (24/6/2023). Diskusi yang diikuti para generasi milenial tersebut menyoroti keseriusan para calon pemimpin bangsa dalam menanggapi krisis iklim dan bonus demografi 2045 /Antara/Indrianto Eko Suwarso

PIKIRAN RAKYAT - Terinspirasi Tajuk Rencana HU Pikiran Rakyat pada 28 Juli 2023, mereka yang sudah tercatat sebagai calon anggota legislatif dalam Pemilu 2024 didominasi caleg berusia di atas 50 tahun. Mengapa yang usianya lebih muda tidak banyak muncul?

Selama ini, kita cenderung memercayai bahwa generasi mudalah yang menjadi pendorong terjadinya perubahan sosial politik. Tapi, kita juga seolah lupa, bahwa setiap kali terjadi perubahan, generasi muda yang sering menjadi tumbal.

Cuplikan di atas mendorong penulis untuk melakukan refleksi terhadap praksis demokrasi pada era digital. Milenial adalah generasi yang lahir pada 1981-1996 atau mereka yang saat ini berusia 24-39 tahun. Milenial, secara psikososial dan sosiologis, merupakan kelompok yang sangat strategis untuk melakukan berbagai perubahan, terutama dalam domain demokrasi.

Demokrasi kini relatif telah berganti “wajah”. Aspirasi dan pendidikan politik kaum milenial lebih banyak belajar dari media digital (internet dan media sosial), termasuk pemahaman mereka terhadap jalannya demokrasi di NKRI. Salah satu ciri khas media digital, lintas ruang dan waktu, instan, cepat dan serempak (borderless), dan amat global.

Baca Juga: Regresi Demokrasi dalam Dekapan Kapitalisme Global

Di sisi lain, para politisi/birokrat sebagai “hamba” politik telah menampilkan sosok anomali. Politik baru sekadar ajang “rebutan” kuasa dan bagi-bagi jabatan. Tingginya penyalahgunaan wewenang atau jabatan oleh para politisi dan birokrat menjadi miniatur “ambruknya” demokrasi.

Ironisnya, kelompok milenial ikut menyaksikan melalui media digital. Pendulum demokrasi sangat bergantung “selera” para penguasa yang sedang mendapat “giliran”. Alih-alih praktik korupsi ibarat gunung es dan lingkaran setan (vicious circle). Sungguh teramat menyedihkan dan menjadi lembaran hitam sejarah bangsa ini. Semuanya dapat disegarkan melalui catatan dan atau jejak digital yang teramat mudah dibuka kembali. Kita hanya perlu cari kata kunci di Google dan “klik”.

Ilustrasi baliho kampanye peserta Pemilu.
Ilustrasi baliho kampanye peserta Pemilu.

Era Reformasi 1998, dipercaya menjadi tonggak perubahan yang lebih baik dalam praktik kenegaraan atau demokrasi, namun, sebaliknya, Reformasi masih identik dengan era kebebasan yang penuh dengan berbagai persoalan. Literasi demokrasi dan media digital tak lagi berada dalam suasana yang seiring dan sejalan. Transformasi digital bukan hanya sekadar tantangan, melainkan juga menjadi “bumerang” betapa telanjangnya demokrasi dan Reformasi dapat direkayasa sesuai hasrat kuasa yang teramat artifisial dan banal.

Demokrasi dan Reformasi baru sekadar rangkaian kegiatan ala kadarnya, pawai, kampanye, pemungutan suara dan atau safari politik yang hanya mengedepankan “casing” semata di panggung depan, sementara tujuan dan substansi politik (belakang panggung) masih jauh dari harapan dan penuh dengan berbagai sikap dan perilaku politik yang tak lagi elok dicermati dan disaksikan. Perubahan global bagi negara berkembang, khususnya NKRI, lebih banyak direspons dengan sikap dan perilaku hedonis, permisif, dan materialistis. Kaum milenial sebenarnya paham bahwa demokrasi era global telah bergeser ke arah komodifikasi politik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat