kievskiy.org

Regresi Demokrasi dalam Dekapan Kapitalisme Global

Ilustrasi politik.
Ilustrasi politik. /Freepik/rawpixel.com

PIKIRAN RAKYAT - Salah satu ironi terbesar abad ke-21 adalah kian mundurnya demokrasi di mana-mana, termasuk di Indonesia, terlepas dari kemajuan pesat di bidang ekonomi maupun teknologi. Ilmuwan politik Marcus Mietzner mengatakan bahwa saat ini secara global kebebasan berekspresi makin dibatasi, konservatisme sosial dan agama makin kuat, serta pemegang kekuasaan makin berani dalam merepresi pengkritik (Tempo, 17/4/2022).  

Jika kita tengok sejumlah literatur mengenai demokrasi, saripati demokrasi bisa diperas menjadi lima: adanya kebebasan berekspresi, kepatuhan pada hukum (rule of law), terbukanya akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik demi kesejahteraan bersama (lewat pemilu yang adil dan kegiatan kewargaan), emansipasi rakyat dari segala bentuk kesengsaraan, dan checks and balances antara elemen-elemen negara.

Tentu membingungkan mengapa regresi demokrasi terjadi di mana-mana. Bukankah seiring pesatnya kemajuan teknologi dan sosial-ekonomi, suatu bangsa harusnya jadi lebih berpikiran terbuka, berwawasan luas, toleran terhadap sesama warga, singkatnya lebih demokratis? Kebingungan ini bisa dinisbatkan pada salah satu biang keladi: kapitalisme global.

Baca Juga: Politik di Indonesia: Demokrasi dan Monster Bernama Oligarki

Pasalnya, kapitalisme global saat ini sebangun dengan kapitalisme neoliberal, yaitu suatu paham kapitalisme lanjut yang memprivatkan/menswastakan semua sektor sebagai lahan laba, termasuk sektor publik. Kapitalisme global ini tidak lagi mengenal pemisahan antara sektor privat/swasta maupun sektor publik yang dalam bahasa konstitusi kita “menguasai hajat hidup orang banyak.” Alhasil, sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, dan energi yang secara filosofis harusnya dikelola oleh negara (state) demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kini justru terbuka untuk secara serakah dijalankan dengan logika swasta yang ingin mengeruk laba dan melakukan akumulasi kapital semaksimal mungkin (Francis Wahono, Neoliberalisme, Cindelaras, 2010). Kapitalisme global pun menjadi kapitalisme pemangsa (predatory capitalism).

Di sisi lain, sendi utama kapitalisme global untuk memaksimalkan laba adalah efisiensi, yang mensyaratkan kemampuan mentabulasikan variabel-variabel untuk diprediksi dan menempatkannya di bawah kontrol rasio dingin yang mendambakan kepastian. Maka itu, kapitalisme global membutuhkan kepastian dan kestabilan politik dari negara, yang kerap menafsirkannya sebagai kendali luas atas kritik serta kebijakan membungkam rakyat.

Di sini, kapitalisme global bersekutu dengan negara sebagai alat pencipta kestabilan dan kepastian, yang kerap dilakukan lewat lobi, negosiasi, dan masuk langsung ke dalam sistem pemerintahan demi mengendalikan kebijakan. Terjadilah fenomena “penguasaha”, di mana mayoritas aparat pemerintahan justru datang dari kalangan pengusaha yang ingin memaksimalkan laba. Tatkala uang dan kekuasaan terpusat di negara, negara memiliki kekuatan besar menjurus absolut. Apabila kapitalisme global bertemu dengan absolutisme negara, muncullah potensi pembentukan sindikat politik tingkat tinggi atau persekongkolan mafioso yang menelorkan politik kartel pro status quo (Valentinus Saeng, Herbert Marcuse, Gramedia, 2012).

Baca Juga: Ngomong Demokrasi tapi Minus Literasi, Masih Terjadi di Negeri Ini

Gerhana humaniora

Artinya, kondisi regresi demokrasi saat ini adalah hasil dari kekusutan struktural yang perlu diurai oleh pribadi-pribadi tercerahkan. Merujuk Kuntowijoyo (Paradigma Islam, Mizan, 2010), pribadi tercerahkan itu adalah pribadi profetis yang mengamalkan ilmu sosial profetis (ISP) yang didasarkan pada cita-cita memanusiakan manusia (humanisasi/emansipasi), membebaskan bangsa dari kemiskinan ekonomi dan keangkuhan teknologi (liberasi), dan merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat dari Tuhan (transendensi) sehingga manusia tidak menyerah kepada arus hedonisme dan materialisme.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat