kievskiy.org

Investasi China dan Jaminan APBN

Ilustrasi peta China.
Ilustrasi peta China. /Pixabay/geralt

PIKIRAN RAKYAT - Kementerian Keuangan akhirnya memberikan penjaminan untuk mengatasi pembengkakan biaya (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Jaminan tersebut diberikan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

Lantas, mengapa akhirnya China meminta jaminan APBN atas investasi dan utang yang telah digelontorkan untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung? Sebenarnya soal tata cara dan prinsip kerja sama bisa saja berubah sewaktu-waktu, tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, yakni Indonesia dan China.

Apakah hal tersebut lazim? Perkara lazim atau tidak, sepengetahuan saya, hal tersebut cukup lazim dalam konteks investasi dan utang yang diberikan China ke negara lain. China biasa melakukan hal seperti itu kepada negara lain yang menerima investasi dan utang dari Negeri Tirai Bambu. Apalagi belakangan, banyak negara, terutama di Afrika, berbalik ke IMF untuk menutup utang kepada China.

Mengingat cukup banyak negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang berpaling ke IMF untuk menutup beban utang kepada China yang terbilang sudah sangat membebani kapasitas fiskal negara-negara berkembang, menurut Fukuyama, justru menimbulkan kekhawatiran baru karena berpotensi mengganggu stabilitas dan ketahanan keuangan IMF.

Baca Juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Sengsarakan Warga Cikalongwetan, Mata Air Kering dan Rusak

Pun dengan perkembangan tersebut, China pun khawatir dengan investasi dan utang yang telah digelontorkan ke banyak negara. Pasalnya, dana yang dipakai China bukanlah dana yang berkategori "Marshall Plan" alias bukan dana cuma-cuma, tapi dana yang memang diperuntukan untuk mendapatkan "return" yang sepadan. Pengecualian hanya berlaku secara kasuistis, terutama bagi negara-negara yang memiliki nilai sangat strategis bagi China

Jadi, dalam konteks inilah China bersikeras meminta jaminan fiskal resmi dari negara di mana utang dan investasi China digelontorkan. Tak terkecuali dengan PMK 89/2023, yang bergerak dalam logika yang sama.

Nyatanya China memerlukan jaminan atas kepastian pengembalian dananya di masa depan. Pasalnya, dana yang dipakai perbankan China untuk dipinjamkan atau dana perbankan China yang diberikan kepada BUMN atau korporasi swasta China untuk berinvestasi di luar negeri adalah berupa Sovereign Leverage Fund atau SLF. Jadi, dana yang dipinjamkan dan diinvestasikan bukanlah milik pemerintah China per se, tetapi bagian dari foreign exchange reserves atau devisa China yang supermelimpah alias milik pengusaha eksportir China yang ada di Bank Sentral China. Di China, devisa tidak dipegang oleh perusahaan eksportir, tapi ditahan di Bank Sentral (PBoC).

Bank Sentral China akan memberikan dolar kepada eksportir sesuai kebutuhan impor dan bayar utang saja. Sisanya akan dikembalikan dalam bentuk yuan, bukan dolar, meskipun eksportir semestinya mendapat dolar dari aktivitas ekspor. Sementara di Indonesia, devisa dalam bentuk dolar langsung parkir di akun perbankan eksportir.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat