kievskiy.org

Pemilu dan Kalangan Muda: Seperti Apa Kriteria Pemimpin yang Ideal?

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Antara/Arif Firmansyah

PIKIRAN RAKYAT - Jelang Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis statement bahwa komposisi pemilih akan lebih banyak didominasi oleh kalangan muda (generasi Z dan milenial), dengan proporsi mencapai 52 persen dari total keseluruhan.

Berkaca dari statistik tersebut, mudah untuk menyimpulkan bahwa kontestan manapun yang berhasil meraih dukungan politik dari kalangan muda akan berpotensi besar dinobatkan sebagai pemenang pada Pemilu 2024 yang akan digelar pada 14 Februari.

Pada perjalanannya, terjadinya persaingan sengit antar peserta Pemilu untuk memoles dan mencitrakan diri sebagai representasi anak muda, baik dalam bentuk tampilan maupun gaya. Bahkan, tidak sedikit partai politik yang mengambil jalan pintas.

Persoalannya, apakah pemilu masih sedemikian menarik bagi kalangan muda, lantas faktor apa saja yang dapat menarik kalangan muda untuk dapat berpartisipasi dan terlibat aktif dalam penyelenggaran Pemilu 2024.

Perilaku Memilih

Kalangan muda selalu tampil menjadi primadona dalam setiap panggung Pemilu, jumlah mereka yang dominan tentu saja menjadi faktor penting bagi penegasan status tersebut. Hanya saja, kalangan muda tentu bukan entitas statis yang dapat dengan mudah diarah-arahkan untuk mendukung kandidat tertentu dalam pemilu. Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati lebih dalam, salah satu di antaranya adalah perilaku politik kalangan muda.

Dalam perkembangan literatur ilmu politik, perilaku memilih (political behaviour) dipetakan ke dalam tiga cluster besar, yaitu pemilih psikologis, sosiologis dan rasional. Pada sebagian besar studi, kalangan muda acapkali ditempatkan pada posisi sebagai pemilih yang rasional. Operasi dari model tersebut didasarkan pada kalkulasi yang dibuat secara rasional, dengan dipandu oleh motivasi yang bersifat individual. Menurut Dan Nimmo (2000) pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, dan pengetahuan yang umumnya didapatkan melalui informasi yang mumpuni.

Berbeda dengan pemilih sosiologis yang perilakunya dibentuk oleh faktor sosio-kultural, ataupun pemilih psikologis yang cenderung partisan dan ideologis, pemilih rasional memiliki kecenderungan untuk bergerak dinamis atau berubah-ubah tergantung isu dan perkembangan politik yang berlangsung.

Dengan demikian, karakteristik yang rasional, independen, dan kritis tersebut membuat kalangan muda akan realtif resisten untuk diraih simpatinya melalui isu-isu negatif, seperti politisasi SARA dan Hoaks. Kalangan muda akan cenderung menuntut peserta pemilu untuk lebih mengedepankan visi-misi dan pendekatan programatik yang dapat mengakomodasi kepentingan mereka.

Kriteria Pemimpin

Kalangan muda dianggap memiliki orientasi dan sikap politik yang berbeda dengan generasi lain. Salah satu faktor yang dianggap paling mempengaruhi kondisi tersebut adalah status mereka sebagai warga asli dunia digital (digital natives), penetrasi internet dan media sosial yang demikian kencang memudahkan mereka untuk mengakses informasi terkait isu-isu aktual yang dalam beberapa pada periode lalu tidak begitu populer, seperti perubahan iklim dan energi terbarukan.

Hanya saja, progresifitas dalam memproduksi sekaligus mengonsumsi isu publik yang segar tersebut nampak tidak linier dengan cara mereka dalam menentukan pilihan terhadap kepemimpinan politik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat