kievskiy.org

Riuh Bahasan Pangan di Debat Cawapres, tapi Minim Eksekusi

Ilustrasi ketahanan pangan.
Ilustrasi ketahanan pangan. /Pexels/Sergei A

PIKIRAN RAKYAT - Debat cawapres pada Minggu, 21 Januari 2024 lalu, menyiratkan banyak pernyataan tentang pangan. Setidaknya terdapat dua tema besar pangan yang meski diulas. Pertama, masalah impor beras yang melulu menjadi objek dan dagangan politik. Kedua, masalah food estate yang dinyatakan gagal, bahkan menjadi sumber deforestasi. Kedua pernyataan tersebut berasal dari cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, di mana impor beras masif terjadi di era pemerintahan Presiden Jokowi, padahal Jokowi pernah berjanji akan menyetop impor beras pada debat capres tahun 2019. Lalu, bagaimana posisi strategis pangan kita hari ini?

Untuk menjawab hal ini, setidaknya ada 2 hal yang harus dijawab. Pertama, posisi pangan dan iklim pangan. Posisi pangan berkaitan dengan komitmen dan peran pemerintah. Setidaknya ada dua hal yang membedakan, yaitu kemandirian pangan dan ketahanan. Kemandirian pangan atau kedaulatan pangan menitikberatkan pada kemampuan Negara untuk mengelola ekosistem lokal, perlindungan terhadap petani, asuransi panen, dan jaminan tata niaga pangan yang berkeadilan. Berbeda dengan kemandirian pangan, ketahanan pangan lebih menitikberatkan pada ketersediaan pangan sebagai tujuan akhir dari pembangunan pangan.

Ini jelas berbeda dan berimplikasi jauh pada penerapan program pangan. Apa yang dijanjikan Presiden Jokowi pada tahun 2019 untuk menyetop impor jelas tertuju pada bagaimana kemandirian pangan harus dituju. Faktanya, impor beras selalu saja terjadi walau komitmen kuat telah ditunjukkan presiden. Fakta impor beras dan pangan lainnya adalah implikasi dari kebijakan dan reposisi Negara guna menuju ketahanan pangan.

Langkah menuju kedaulatan pangan memang tidak mudah, terdapat proses transisi pangan yang harus dilakukan guna menuju langkah besar tersebut. Salah satunya dengan pembangunan food estate, transisi pengelolaan lahan pertanian yang bersifat smart farming system, perlindungan lahan pertanian, dan perbaikan tata niaga pangan.

Satu saja langkah di atas tidak berjalan, maka reposisi kebijakan pangan Indonesia akan kembali pada ketahanan pangan. Oleh karena itu, berbicara kedaulatan pangan membutuhkan integrasi berbagai sektor yang jelas saling berkesinambungan. Sektor agraria, ekonomi, dan perdagangan adalah sektor yang berperan sangat penting untuk mewujudkan kemandirian pangan. Sayangnya, sektor-sektor tersebut masih terbilang minim implementasi demi perwujudan kedaulatan pangan. Contohnya, tata niaga pangan saat ini belum menguntungkan para petani.

Kedua, iklim pangan. Iklim pangan lebih tertuju pada kondisi keadaan lahan, infrastruktur, perangkat pendukung serta keadaan sosial budaya, sehingga petani menjadi lebih bersemangat dalam mewujudkan kemandirian pangan. Kondisi inilah sebenarnya hilang pascakonversi lahan pertanian yang sulit terbendung. Jika pun ada lahan pertanian saat ini, iklim pangan tidak lagi mendukung. Ini jelas terlihat dari minimnya kegiatan sosial antarkelompok, infrastruktur pangan yang berkurang, serta rendahnya minat generasi muda pada bidang pertanian.

Hal ini tentu membutuhkan peran serta semua pihak, implementasi one map one policy sudah seharusnya berbunyi pada pemerintahan ini. Sayangnya, masih minim implementasi atau bahkan tanpa eksekusi.

Food Estate

Proyek food estate yang diharapkan menjadi jawaban terhadap kemandirian pangan justru menjadi dilema dan problematis. Dilema, karena benar food estate adalah salah satu upaya untuk mentransformasikan lahan pertanian yang terus terkonversi. Namun, secara produktivitas, masih jauh dari produktivitas rata-rata nasional. Dilema, karena lahan food estate justru ditanami oleh tanaman yang tidak ada kaitannya dengan kedaulatan pangan, semisal jeruk. Dilema, karena dinilai tidak menguntungkan baik bagi iklim investasi, terlebih untuk petani dan pengelolanya. Oleh karena itu, tak jarang kita temui food estate justru ditinggalkan oleh petani dan pengelolanya (mangkrak).

Dilema tersebut sebenarnya dapat diminimalisir. Penentuan lokasi food estate harus segera dievaluasi. Pada beberapa lahan, food estate justru ditempatkan pada lokasi di mana kondisi lahan dengan mekanisasi pertanian yang optimal justru akan mengakibatkan terciptanya kemasaman tanah. Bahkan penentuan lokasi food estate justru membutuhkan anggaran negara yang sangat besar untuk memperbaiki kondisi lahan, seperti membuat irigasi mikro di Kabupaten Pulang Pisau. Akibatnya, ini dinilai merugikan karena nilai investasi tidak sebanding dengan produktivitas hasil.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat