kievskiy.org

Menyoal UKT dan Hak Pendidikan bagi Warga Negara

Ilustrasi perguruan tinggi.
Ilustrasi perguruan tinggi. /Pixabay/McElspeth

PIKIRAN RAKYAT - Saat ini kita dihadapkan dengan realitas, bahwa perubahan dalam dunia pendidikan sedemikian cepat dan tidak linier tetapi dengan lompatan-lompatan yang sulit untuk diprediksi—termasuk dampak dari pandemi Covid-19. Hal ini ‘memaksa’ dunia pendidikan untuk terus berbenah dan melakukan perubahan dalam wilayah metodologi pembelajaran, materi, kurikulum, suasana sekolah, dan paradigma pendidikannya jika tidak ingin ditinggalkan oleh ‘pelanggannya’ dan dianggap ‘out of date’.

Sisi lain, mutu dunia Pendidikan kita jika dikomparasikan dengan lulusan negara lain juga masih belum kompetitif. Indonesia menempati posisi keempat dalam sistem pendidikan di Asia Tenggara. Pada tahun ini, Singapura menempati ranking ke-21 di seluruh dunia. Sejak tahun 2000, The Organisation for Economic Co-operation (OECD) mengadakan tes Programme for International Student Assessment (PISA) untuk menakar pengetahuan siswa dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Pada hasil PISA 2018, Indonesia berada di peringkat ke-13 dari total 15 negara di Asia yang mengikuti tes.

Pada tahun 2023, berdasarkan data yang dirilis oleh worldtop20.org, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan ke-67 dari total 209 negara di seluruh dunia.

Artinya masih perlu kerja ekstra untuk melakukan pembenahan dalam persoalan Pendidikan kita. Ini salah satu yang menjadi titik krusial kenapa ada masyarakat yang bersikap kontra terhadap kenaikan biaya Pendidikan—dalam hal ini UKT—di Perguruan Tinggi misalnya, karena belum berbanding lurus dengan kualitas Pendidikan perguruan tinggi kita.

Kenaikan UKT yang Ugal-ugalan

Terma UKT ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang, Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. UKT merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. UKT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah.

Skema UKT di perguruan tinggi dinilai oleh beberapa pengamat harus ditinjau ulang karena sangat memberatkan banyak mahasiswa. Mahalnya biaya UKT disebut merupakan dampak dari diberlakukannya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), yang membuat terjadinya tren komersialisasi di perguruan tinggi. PTN BH diberikan otonomi untuk memberlakukan biaya Pendidikan dan laporannya.

Hal yang membuat kita miris adalah, ketika pejabat Kemendikbud RI diminta konfirmasi tentang kenaikan UKT yang ugal-ugalan di beberapa Perguruan Tinggi negeri, dengan entengnya menjawab; “Pendidikan Tinggi masuk kategori tersier, sunnah”. Ini yang kemudian menurut Darmaningtyas disebutnya pejabat yang gagal paham dalam membangun peradaban bangsa. Korea Selatan sedemikain maju dalam dunia pendidikannya karena masyarakatnya berpendidikan tinggi. Pendidikan tinggi menjadi kunci peradaban bangsa.

Data menunjukkan bahwa hanya 5 persen dari 275 juta penduduk Indonesia yang mengenyam Pendidikan S1, lulus S2 hanya 0,3 persen, dan S3 hanya pada angka 0,02 persen dari penduduk Indonesia. Artinya, jika negara tidak hadir untuk membangun peradaban melalui Pendidikan tinggi, maka Indonesia akan semakin tertinggal dibandingkan dengan negara lain.

Biaya UKT dan Ranking PTN Kita

Masyarakat kemudian mempertanyakan ketika UKT semakin mahal, anggaran Pendidikan Rp665,02 triliun pada 2024 untuk apa saja? Apalagi beberapa PTN BH yang menaikkan UKT dari sisi mutu Pendidikan masih kalah jauh dengan beberapa perguruan tinggi dunia.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat