kievskiy.org

Asep Warlan Yusuf : Izin Lingkungan Tak Semestinya Diganti dengan Persetujuan

Ilustrasi  lingkungan hidup.*
Ilustrasi lingkungan hidup.* /PIXABAY

PIKIRAN RAKYAT - WACANA penggantian izin lingkungan menjadi persetujuan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai kurang kuat. Untuk itu hendaknya izin ini tak diotak atik lagi.

Dalam Rapat Dengar Umum Pantia Kerja (Panja) RUU Ciptaker di Jakarta, Rabu 10 Juni 2020, Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf yang dimintai pendapatnya menyebut, kedudukan izin merupakan yang paling tinggi dalam hukum administrasi lingkungan. Perizinan memastikan berbagai fungsi dalam hukum administrasi lingkungan berjalan dengan baik.

“Ini mencakup koordinasi, pengawasan masyarakat, pencegahan dan pengendalian, dan sebagainya. Jadi, tidak boleh mengubah posisi dan fungsi dan efektivitas sebuah izin," kata Asep.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Belum Usai, Singapura Terancam Wabah Demam Berdarah Terparah Kedua dalam Sejarah

Dia menyarankan, Badan Legislasi (Baleg) DPR tetap mempertahankan perizinan sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sehingga, pengelolaan lingkungan Indonesia tetap berjalan baik.

"Tidak mengganti izin perizinan lingkungan dengan persetujuan karena ada beberapa konsekuensi. Saya khawatir pemerintahan sich (sendiri) sebagai pemberi persetujuan," kata Asep.

Dia juga menilai perlunya perumusan ulang perizinan AMDAL (analisis dampak lingkungan) sampai sanksinya. Pasalnya selama ini masih banyak inkonsistensi. Kalau tidak dirumuskan ulang atau dihapus bahkan diganti tentu akan merugikan pengelolaan lingkungan itu sendiri.

Baca Juga: Bertambah 6 orang, Warga Kota dan Kabupaten Sukabumi yang Sembuh Covid-19

“Kalau begitu sangat berbahaya nanti dalam undang-undang ini. Banyak inkonsistensi," ujar dia.

Sementara itu Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo menyatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja bertujuan untuk mencari solusi agar perekonomian ke depan bisa berjalan serta regulasi yang tumpang tindih bisa diselesaikan secara maksimal, tanpa mengabaikan norma-norma yang telah diatur dengan baik.

Adapun, sambung Firman, dalam kaitannya mengenai lingkungan hidup dan kehutanan, jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009, jelas tersirat kehutanan seharusnya dapat dikelola  di mana kepentingan ekologi, sosial dan ekonomi dapat terpenuhi secara seimbang.

Baca Juga: Kasus Covid-19 Jateng Naik Lebih dari 100, Ganjar Pranowo: Bahkan Dalam Satu RT Ada 27 Orang Positif

Lebih lanjut, politisi Fraksi Partai Golkar tersebut mengungkapkan, persoalan regulasi yang tumpang tindih mengakibatkan tiga aspek sub-sektor tadi tidak terkelola dengan maksimal.
“Maka, saya menekankan hal tersebut harus dicarikan solusi dalam RUU Cipta Kerja ini untuk mengatur norma-norma yang mengatur keseimbangan atau kepentingan kehutanan yang meliputi tiga sub-sektor yakni aspek ekologi, sosial dan ekonomi,” ujar Firman.

Selain itu, Firman yang juga Anggota Komisi IV DPR RI ini, menyoroti tentang bank tanah yang rencananya juga akan dirumuskan dalam RUU Ciptaker. Firman mengimbau, persoalan bank tanah perlu mendapat perhatian khusus untuk dipertimbangkan sebaik-baiknya, apakah menjadi bagian penting dalam RUU Ciptaker nantinya.

Baca Juga: Persiapan New Normal, Borobudur hingga Ratu Boko Gelar Simulasi Protokol Kesehatan

Selain Asep Warlan Yusuf sebagai pakar dan anggota Baleg DPR RI, rapat ini juga dihadiri oleh M Ramdan Andri Gunawan (Guru Besar Fakultas Hukum Univ Indonesia) dan San Afri Awang (Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM). Mulanya Wahana Lingkungan Hidup juga diundang tetapi menolak datang.

Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati mengaku lembaganya menolak hadir dalam rapat tersebut, karena menolak pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Hal itu pun disampaikan secara resmi melalui surat yang dikirimkan jelang RDPU.

Menanggapi ini, Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Atgas, mengaku kecewa dengan sikap WALHI. Padahal, kata Supratman, semua permasalahan terkait RUU Cipta Kerja Omnibus Law harus didiskusikan dan didialogkan dengan terbuka.

Baca Juga: Di Jateng Ada Penambahan 139 Pasien Positif Covid-19, Klaster Gowa Penyumbang Terbanyak

“Saya kecewa juga. Saya mohon maaf, bahwa kita sudah beri kesempatan kepada teman-teman Walhi. Tidak boleh hanya intinya mereka tolak, ini harus ada dialog," kata Supratman.

Menurut Supratman, tak bisa jika semua kepentingan di dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law hanya berpihak ke satu kelompok tertentu saja. Pasalnya, menurut dia, kebijakan ini punya efek yang bisa menurun kepada semua lapisan. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat