PIKIRAN RAKYAT - Pertengahan tahun 2022 Indonesia sudah masuk tahun politik. Pendaftaran partai politik akan dimulai. Padahal, Presiden Jokowi masih bekerja sampai 2024.
Untuk bekerja hingga akhir, Jokowi membutuhkan kabinet yang loyal kepadanya, juga profesional dan berkompeten, plus memiliki legitimasi di mata publik.
Dengan alasan itulah, sudah sepantasnya Jokowi melakukan reshuffle. Pengamat politik dari FISIP Universitas Padjadjaran Firman Manan mengatakan, ada beberapa ukuran yang dapat dijadikan pertimbangan Jokowi mengganti pembantunya tersebut. Contohnya dengan mengevaluasi kinerja menterinya.
”Menteri dengan performa belum optimal, berpotensi terkena reshuffle,” ucapnya, Minggu 27 Maret 2022.
Baca Juga: Reshuffle Kabinet Tak Penting bagi Rakyat
Menteri dengan kinerja bagus juga dapat diganti, yakni menteri yang tidak mampu menjalankan arahan presiden. Firman memberi contoh, menteri yang tidak bisa menyerap penggunaan anggaran.
”Pasti kena reshuffle karena dalam beberapa kesempatan, Presiden sudah memberi warning walau kerjanya bagus, tapi arahan Presiden tidak diperhatikan, tiada ampun kena evaluasi dan reshuffle,” ucapnya.
Hanya, Firman menggarisbawahi bahwa reshuffle bukan soal meraih kepercayaan publik. Berdasarkan hasil survei, tingkat kepercayaan publik terhadap Jokowi mencapai 67 persen. Jadi, kecil peluang reshuffle untuk meraih kepercayaan publik.
Faktor paling logis, kata Firman, reshuffle bertujuan memperkuat soliditas partai politik koalisi. Sudah jadi kelaziman apabila parpol koalisi diberi kursi di kabinet.
Parpol yang memiliki kursi banyak di DPR pasti dapat kursi lebih banyak di kabinet seperti PDIP, Golkar, dan Nasdem. Lalu, parpol yang bergabung belakangan meski memiliki kursi banyak tidak dijamin dapat mendapat kursi banyak di kabinet.
”Lihat saja Gerindra, karena baru bergabung belakangan, baru mendapat dua kursi di kabinet,” kata Firman.
Untuk kepentingan memperkuat soliditas itu, kata Firman, PAN berpeluang dimasukkan ke kabinet. Karena sudah kelaziman, anggota parpol koalisi akan mendapatkan kursi.
Firman menyebut, hal itu sebagai persoalan keseimbangan untuk memberi kursi bagi anggota parpol koalisi. Namun, posisi menteri apa yang akan diisi PAN?
Loyalitas didahulukan
Sebetulnya, komposisi perwakilan parpol di kabinet saat ini sudah relatif seimbang. Namun, kata Firman, jika memasukkan PAN, kemungkinan besar yang tergeser adalah menteri dari luar partai.
”Menteri dari nonpartai yang mungkin tergeser tapi bisa juga tiba-tiba ada penambahan berdasarkan subjektivitas Presiden yang sering kali unpredictable,” ucapnya.
Beberapa posisi yang berpeluang diganti, kata Firman, ada Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, dan beberapa posisi wakil menteri yang strategis seperti di Kementerian ESDM Investasi dan Koperasi.
Selain itu, mungkin juga di Kementerian Perdagangan dan PUPR karena alasan kesehatan Menteri Basuki.
Kementerian Dalam Negeri bisa dipertimbangkan untuk diganti. Firman mengatakan, publik mempertanyakan kualitas Menteri Tito Karnavian dalam menangani agenda pemilu serentak.
”Saya tidak tahu, apakah kemudian Pak Tito dinilai cukup mampu menangani, termasuk pengisian pejabat sementara. Bisa saja yang menjadi back up diisi wakil menteri dalam negeri yang dipilih dalam konteks profesional,” katanya.
Firman mengatakan, kecil kemungkinan mengganti menteri dari parpol karena tahun politik ini banyak yang dipertaruhkan, termasuk persoalan keluar dari pandemi.
Jokowi harus punya anggota kabinet loyal, orang-orang kompeten dan memiliki legitimasi di mata publik.
”Saya tidak bisa membayangkan Presiden mengambil langkah ekstrem mengganti menteri dari parpol dengan profesional. Kalau dilakukan, bisa menambah masalah, bahkan bisa berkurang dukungan DPR.
Selama ini, hubungan dengan DPR relatif berhasil seperti untuk UU IKN dan Ciptaker, salah satu andilnya dari soliditas menteri di DPR,” ujar Firman.
Akademisi Universitas Padjadjaran Ferry Hadiyanto pun menilai, ada beberapa hal yang menjadi perhatian Jokowi, yakni merealisasikan IKN, menyelesaikan janji-janji, serta mengharmonisasi parpol menuju 2024.
Jokowi berusaha agar tim tetap solid. Soliditas menjadi perhatian. Jika hal itu tidak terjaga, dikhawatirkan berimbas pada sejumlah target terakhir yang bisa tidak terselesaikan, terutama IKN.
”Jadi isu-isu yang digulirkan digunakan agar tim menteri tetap solid. Termasuk isu reshuffle untuk memastikan loyalitas menteri untuk pencapaian IKN,” katanya.
Ekonomi mikro
Terkait kinerja perekonomian Indonesia, Ferry berpendapat, performa ekonomi Indonesia saat ini justru sudah sesuai dan terus menunjukkan pemulihan. Namun, ia tak menampik, kecepatannya belum secepat negara lain.
Hanya, ia mengemukakan, kondisi Indonesia berbeda dengan negara lain. Di Indonesia, pandemi Covid-19 sangat dirasakan dampaknya oleh masyarakat menengah ke bawah dan penduduk di garis kemiskinan.
Dari sisi mikro, penduduk Indonesia bukanlah masyarakat yang gemar menabung sehingga ketika mengalami shock seperti saat pandemi, langsung terhantam karena tidak memiliki tabungan yang mencukupi.
”Ketika ingin memulai lagi, itu tidak mudah. Makanya kenapa recovery seolah lambat tapi sebetulnya kita sudah on the right track. Kita memang punya persoalan fundamental ekonomi secara mikro yang kurang baik,” katanya.
Ferry mengakui, pemulihan yang terjadi sedikit ternoda dengan kenaikan harga berbagai komoditas karena beragam hal. Namun, hal tersebut terjadi karena belum adanya kesamaan sudut pandang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Padahal, pascadesentralisasi, ada pembagian peran antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pembangunan ekonomi. Namun, pembagian peran tersebut belum disadari secara penuh oleh pemerintah daerah.
”Perlu pemahaman visi dan perspektif yang sama bahwa indikator makro regional daerah berkontribusi terdahap indikator makro nasional,” ujarnya. (Dewiyatini, Yulistyne Kasumaningrum)***