kievskiy.org

KPK, Anak Kandung Reformasi Itu Kini di Titik Nadir

Pegiat antikorupsi dari ICW dan Gerakan #BersihkanIndonesia melakukan aksi teaterikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu 8 Desember 2021.
Pegiat antikorupsi dari ICW dan Gerakan #BersihkanIndonesia melakukan aksi teaterikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu 8 Desember 2021. /Antara/Indrianto Eko Suwarso

PIKIAN RAKYAT - Banyak kalangan mungkin tak terkejut ketika membaca hasil survei bahwa tingkat kepercayaan terhadap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menurun drastis.
 
Pasalnya, tahun-tahun belakangan ini, kualitas KPK di bawah pimpinan Firly Bahuri memang jauh menurun jika dibandingkan periode kepemim­pinan sebelumnya.
 
Alih-alih membuat prestasi cemerlang, KPK periode ini justru menciptakan begitu banyak “sensasi” yang memicu kontro­versi.
 
Meski demikian, tak sedikit kalangan yang bakal terkejut jika melihat hasil survei Indikator, belum lama ini.
 
Sebenarnya, survei itu mengandung beberapa tema. Akan tetapi, salah satu tema yang layak disorot dan menjadi bahan perenungan adalah kepercayaan terhadap institusi negara.
 
 
 
 
Di dalam hasil survei itu, KPK berada di urutan kedelapan dengan tingkat kepercayaan mencapai 71 persen, itu pun hasil gabungan dari responden yang menjawab “sangat percaya” dan “cukup percaya”. 
 
Hasil survei itu menempatkan TNI sebagai institusi negara dengan tingkat kepercayaan paling tinggi, yakni 95 persen.
 
Selanjutnya, secara berturut-turut, rangking tingkat kepercayaan ditempati Presiden (86 persen), Polri (80 persen), Mahkamah Agung (79 persen), Mahkamah Konstitusi (79 persen), pengadilan (77 persen), dan kejaksaan (76 persen).
 
Berikutnya, barulah KPK dengan tingkat kepercayaan 71 persen, dibayangi MPR (67 persen), DPD (66 persen), DPR (62 persen), dan partai politik (52 persen).
 
Hasil survei itu jangan sampai dianggap remeh. Pasalnya, KPK merupakan salah satu “anak kandung” reformasi.
 
 
Publik menggantungkan harapan besar kepada lembaga antirisywah itu untuk membebaskan Indonesia dari korupsi (maling uang rakyat), kolusi, dan nepotisme.
 
Wajar jika kemudian Febri Diansyah, eks Juru Bicara KPK, segera merespons hasil survei tersebut. Ia--mengutip pernyataan Burhanudin Muhtadi, pemimpin Indikator--mengungkapkan bahwa hasil survei itu alarm bagi KPK.
 
Pernyataan itu muncul melihat kenyataan bahwa tingkat kepercayaan terhadap KPK justru lebih dekat dengan institusi-institusi politik, seperti MPR, DPD, DPR, dan partai politik. 
 
Kita tahu, sejak lama, masyarakat tidak terlalu memercayai institusi politik meski sebagian besar di antaranya menyandang status “wakil rakyat”.
 
Hasil survei itu mengkhawatirkan kita semua, betapa persepsi publik terhadap KPK sudah seburuk itu. Padahal, dalam survei-survei sebelumnya, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK senantiasa berada di atas 80 persen.
 
Korupsi, kolusi, dan nepotisme berada sangat dekat dengan kekuasaan. Bahkan, merujuk sejarah, tiga jenis tindak kejahatan itu bahkan sudah “mentradisi” jauh sebelum para pendahulu kita bersepakat untuk menggabungkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 
Catatan yang masih terang benderang dapat kita baca adalah torehan ketika maskapai dagang Hindia Timur milik Belanda (VOC) bercokol di negeri ini.
 
Sebagian besar orang tahu bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme pulalah yang menyebabkan perusahaan dagang itu akhirnya dinyatakan bangkrut akhir abad ke-18 Masehi.
 
Catatan sejarah juga mengungkapkan bahwa para pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan hanya para pejabat kolonial berkebangsaan Eropa.
 
Kalakian, semua orang melibatkan diri, termasuk para pejabat pribumi. Bukti-bukti sejarah itulah yang sepertinya membuat kita sudah sangat terbiasa dengan laku-laku tersebut.
 
Sebagian dari kita bahkan mungkin tak lagi menganggap bahwa laku-laku tersebut--meski dalam skala kecil--merupakan penyimpangan yang layak diancam hukuman. 
 
Inilah yang sebenarnya melatarbelakangi pembentukan KPK melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
 
KPK dibentuk agar Indonesia tak terlalu dalam terjerembap ke dalam kubangan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
 
Tak heran jika kemudian lembaga itu diberi dua “kutub” wewenang yakni pencegahan dan penindakan.
 
Meski demikian, sejak periode ­awal kepemimpinan, “kutub” penindakan justru terekspose lebih banyak.
 
Sudah begitu banyak pejabat negara--dan pihak-pihak yang bersekongkol dengan mereka--dipermalukan di depan khalayak karena menggarong duit rakyat.
 
Di lain pihak, “kutub” pencegahan seolah-olah menapaki jalan sunyi, jauh dari sorot kamera dan bahan perbincangan ramai orang.
 
Kondisi itulah yang sepertinya membuat banyak pihak merasa gerah. Mereka dihantui mata dan te­linga KPK sehingga tak lagi dengan bebas “menjalankan tradisi”.
 
Apalagi, mereka menganggap bahwa semua laku lajak itu lumrah adanya. Karena kepentingan terganggu, melumpuhkan semua “indera” KPK menjadi pilihan.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat