BOLEH dong saya ikut mengingat novel termasyhur dari Albert Camus, La Peste (1947). Nh. Dini mengindonesiakannya jadi Sampar (1985). Stuart Gilbert menginggriskannya jadi The Plague (1991). Mohon ampun, saya tidak paham bahasa Prancis.
Membaca novel, buat saya, lebih baik ketimbang stress akibat banjir informasi Covid-19. Lagi pula, saya kurang bersemangat buat ikut-ikutan gila dalam panic shopping memborong masker, cairan anti hama, dan rupa-rupa makanan.
Takut dan khawatir sih sudah pasti. Siapa pula yang tidak takut mati? Namun, ketimbang menyiksa diri dalam kecemasan, kan lebih baik menggali bahan pelajaran, khususon pelajaran tentang apa yang sebaiknya diperbuat ketika wabah berjangkit.
Presiden dan menteri kesehatan memang bilang, “Jangan panik!” Sayang, mungkin saking paniknya, para petinggi lupa menambahkan pesan, “Bacalah novel!” Lebih tepatnya: bacalah Albert Camus.
Rangkaian Kejadian
La Peste adalah kisah tentang menyebarnya basil pembawa pes di Oran, kota di pesisir Aljazair, wilayah kekuasaan Prancis, pada 1940-an. Banyak orang mati, dan kota itu menutup diri berbulan-bulan lamanya. c
Narator dalam novel ini, seperti yang diterjemahkan oleh Gilbert, menyebut kisahnya sebagai “kronik” (chronicle). Isinya serupa kesaksian yang didasarkan atas tiga rumpun data, yakni kesaksian sang narator sendiri, catatan saksi mata lainnya, dan dokumen.
Baca Juga: Pengurangan Risiko Tembakau Turunkan Angka Perokok di Rusia
Namanya juga kronik, sudah pasti penceritaannya bersifat kronologis. Urut-urutan kejadian berlangsung dari April hingga Februari sepanjang 30 bab yang dipilah ke dalam 4 bagian.