kievskiy.org

Desa Merupakan Pusat Pemajuan Kebudayaan

Ilustrasi desa
Ilustrasi desa /Pixabay/acandraja

PIKIRAN RAKYAT - Desa selalu ditempatkan di sudut ruang yang paling pinggir dalam diskusi kenegaraan. Desa dianggap sebagai hamparan tanah, bukit, gunung, hutan, ladang, pantai, laut, semak belukar, kebun, sawah, lahan kering yang dihuni manusia. Tidak dilihat sebagai daya hidup sebuah bangsa.

Konstruksi berpikir yang merendahkan derajat desa makin kentara ketika kolonialisme merajalela. Ketika kolonialisme berakhir diganti oleh pemerintahan republik, posisi desa tetap terpinggirkan.

Akibat konstruksi tentang desa sebagai obyek maka desa dianggap mesin produksi pangan. Desa dipaksa menghasilkan komoditi yang harus dikirim ke kota.

Tidak heran jika lahir kebijakan untuk mengeksploitasi desa. Contohnya di masa kolonial, petani diminta untuk tanam paksa teh, kopi, tebu dan lainnya. Setelah merdeka, lahir kebijakan Bimas (Bimbingan Massal) yang diteruskan oleh orde baru. Bimas adalah penyuluhan pertanian secara massal untuk menggunakan pupuk buatan, pestisida dan membuat irigasi agar produksi meningkat.

Dilengkapi dengan kebijakan Inmas (instruksi massal) yaitu program pemberian hutang usaha bagi petani, untuk beli pupuk, pestisida dan bibit. Ada lagi program Supra Insus yaitu program pemberian obat pengatur tumbuh bagi tanaman pangan.

Di isu kesehatan, penduduk desa juga menjadi obyek. Pemaksaan kontrasepsi untuk perempuan desa dilakukan secara sistematis. Ibu-ibu di desa dimobilisasi jadi anggota PKK sebagi organisasi tunggal perempuan di desa.

Anak-anak desa digiring ke bangku sekolah untuk duduk mendengarkan guru menjelaskan pelajaran yang tidak berhubungan dengan kondisi alam sekitar. Program SD Inpres berupa pembangunan gedung SD dilakukan serentak. Anak-anak meninggalkan, pantai, laut, gunung, lembah, sawah, ladang, kebun dan ternak. Mereka tidak lagi belajar dari alam semesta. Anak-anak belajar dari cerita guru dan buku sekolah.

Nasib desa dan penduduknya yang selalu menjadi obyek pembangunan membawa kondisi desa kepada kehancuran. Meski raga desa remuk akibat pembangunan dan direkayasa sesuai kehendak penguasa. Namun ada harta terpendam yang relatif masih terjaga yaitu kebudayaan.

Kebudayaan menjadi konstanta peradaban. Dinamika masyarakat dan peradabannya dibentuk oleh kebudayaan yang diwariskan turun temurun. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa desa sebagai simbol peradaban menyimpan seperangkat kebudayaan beradab-abad lamanya.

Meskipun kebudayaan itu selalu berubah selaras dengan gerak hidup masyarakat. Dan dipengaruhi pula oleh kondisi lingkungan alamnya yang lekang ditimpa panas, tergerus oleh hujan atau porak poranda dilanda bencana. Tetapi kebudayaan di desa selalu bisa dilacak keasliannya. Desa layaknya sebagai “museum” abadi kebudayaan. Namun kebudayaan di desa sering dianggap ketinggalan jaman.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat