kievskiy.org

Korupsi, Kekuasaan, dan Wacana Perpanjangan Masa Jabatan: Perlunya Belajar dari Zimbabwe

Ilustrasi korupsi, kekuasaan, dan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Ilustrasi korupsi, kekuasaan, dan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa. /Pixabay/Оксана Pixabay/Оксана

PIKIRAN RAKYAT – Tak bisa disangkal, saat kekuasaan tidak dibatasi, maka kecenderungannya korupsi kekuasaan akan merajalela. Korupsi dan kekuasaan itu bak dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi. Oleh karena ini, adagium Barat, power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely ini sangat pas untuk diresapi dan dipraktikkan.

Dunia memang mempraktikkan itu. salah satu contohnya, bisa kita lihat dari sistem pemerintahan di banyak negara. Kita akan temukan keberadaan sistem legislatif dan yudikatif yang fungsinya mengontrol kekuasaan kaum eksekutif. Selain itu, pembatasan masa jabatan juga menjadi sarana lainnya untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut yang memang bertendensi sangat korup.

Oleh karena itu, sangat mengherankan, saat awal pekan lalu ribuan kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dengan berbagai pertimbangan.

Masa jabatan kepala desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 39 yang menyebutkan bahwa masa jabatan kepala desa selama enam tahun terhitung sejak pelantikan. Lalu, petahana kades dapat menjabat lagi paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Baca Juga: Dana Miliaran Rupiah Belum Dipakai Optimal, Perpanjangan Masa Jabatan Kades Bukan Satu-satunya Solusi

Para kades yang berdemonstrasi tersebut menilai bahwa waktu enam tahun belum cukup untuk membangun desa, sehingga butuh waktu lebih lama lagi, yakni sembilan tahun untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tak pelak, argumentasi yang muncul dari mulut para kepala desa yang berunjuk rasa itu membuat banyak pakar ilmu pemerintahan berkomentar. Pasalnya, mereka ini selama kuliah sudah kenyang dengan beragam teori soal korupnya kekuasaan jika tak dibatasi.

Salah satunya yang bicara adalah Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember Dr Adam Muhshi. Dia menilai bahwa perpanjangan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun rawan terjadi tindakan korupsi karena terlalu lama berkuasa. Persis dengan apa yang disampaikan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris pada akhir abad 19 lalu. “Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen," demikian pernyataan Lord Acton yang kemudian menjadi adagium terkenal di dunia sebagaimana sudah disinggung di bagian awal tulisan ini.

Tak bisa disangkal, pembatasan kekuasaan itu sangat penting diimplementasikan untuk mencegah absolutisme atau kesewenang-wenangan. Jika seseorang dibiarkan lama menjabat, maka potensi korupsi semakin terbuka. Karena pada dasarnya, kekuasaan itu cenderung korup. Jadi, saat seseorang diberi kekuasaan, pintu untuk melakukan korupsi sudah terbuka, jika orang tersebut tidak takut Tuhan dan tidak punya prinsip. Apalagi jika diberi kekuasaan yang lama, tanpa dibatasi. Otomatis, 100 persen yang bersangkutan akan korupsi. Contoh kasus di Zimbabwe dan juga di negara otoriter lainnya.

Tak heran, korupsi merajalela di segala hal yang terkait dengan kekuasaan, bukan melulu di level pemerintahan. Bisa terjadi di beragam sektor dengan beragam pelaku, mulai dari hakim, kepala sekolah sampai dengan tokoh agama.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat