kievskiy.org

Puasa dan Pentingnya Membangun Politik Berbasis Moral, Bukan Cuma Berbasis Modal

Ilustrasi. Suasana rapat di gedung DPR.
Ilustrasi. Suasana rapat di gedung DPR. /Pikiran Rakyat/Oktaviani

PIKIRAN RAKYAT - Praktik kehidupan politik bangsa dewasa ini masih tetap memperlihatkan adanya noda dan coreng hitam yang membuat kita sebagai rakyat yang konon katanya beragama masih harus mengelus dada dan menarik napas panjang. Pasalnya, kerakusan, kekerasan, hedonisme hingga persekongkolan jahat seolah dianggap bukan barang tabu lagi.

Saat ini, semuanya seolah-olah saling berlomba tanpa malu lagi untuk memperlihatkan keburukannya, tapi para elite merasa diri paling benar dan berkuasa. Rakyat, sebagai lapisan terendah, tidak lebih dari komoditas politik yang dengan mudahnya mereka arahkan sesuai selera. Seringkali membiasakan hal yang tidak benar dan memandang kesalahan sebagai hal biasa.

Meski ada Undang-Undang tentang Partai Politik, realitas politik kita masih lemah etika moralnya, sehingga tidak terwujud etika politik yang sesuai dengan Pancasila. Akibatnya, terjadi penyimpangan nilai, hukum, dan ketidakpastian sistem pengaderan politik.

Hadirnya Ramadan tentu saja diharapkan bisa mengendalikan diri dari kejatuhan secara moral dan spiritual. Satu hal yang pasti, ibadah puasa, seperti ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, tidak bisa dipisahkan dari dimensi sosialnya. Masalah menahan diri yang menjadi inti ajaran puasa, apbila ditelisik lebih dalam, menjadi masalah dasar dalam problematika kehidupan politik dalam berbangsa dan bernegara hingga kini.

Baca Juga: Perkosa ODGJ, Satgas PMKS Dinsos Karawang Dibekuk Polisi hingga Terancam 12 Tahun Penjara

Sudah menjadi bawaan dasar manusia memiliki potensi dan kecenderungan ingin melanggar aturan, maka akan kita dapati bahwa ketentuan Yang Maha Kuasa kebanyakan diturunkan dalam bentuk larangan. Hal ini karena manusia punya potensi selalu ingin melanggar lantaran kelemahan dalam mengendalikan diri.

Oleh karenanya, puasa dianggap sebagai solusi untuk masalah dasar itu karena berkaitan tentang menahan atau mengendalikan diri dari potensi-potensi yang dapat menggelincirkan manusia ke kejatuhan moral dan spiritual.

Sudah semestinya, meminjam terminologi sastrawan terkenal Dante, bulan puasa dianalogikan sebagai purgatorio atau usaha penyucian karena manusia telah berbuat dosa dan kesalahan yang menimbulkan kesusahan secara spiritual akibat pelanggaran terhadap moralitasnya. Elite politik tidak bisa terus-menerus menjatuhkan diri bahkan mendorong rakyat ikut jatuh ke dalam inferno (neraka).

Dengan menjalankan puasa secara benar, manusia diharapkan selamat dan kembali dalam kesuciannya. Inilah hakikat moral puasa yang semestinya diinsafi oleh seluruh komponen anak bangsa yang tengah khusyuk menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.

Baca Juga: Heboh Bea Cukai Indonesia Disorot Media Asing Diduga Peras Turis Taiwan di Bali, Stafsus Menkeu Angkat Bicara

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat