kievskiy.org

5 Juni 2023 World Environtment Day, Kebijakan Indonesia Justru Jual Pasir Laut

Ilustrasi ekspor pasir laut, ajakan Menteri KKP untuk menganalisis izinnya ditolak Greenpeace Indonesia.
Ilustrasi ekspor pasir laut, ajakan Menteri KKP untuk menganalisis izinnya ditolak Greenpeace Indonesia. /Pixabay/Walkerssk

PIKIRAN RAKYAT - 15 Mei 2023 lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 mengenai Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Singkatnya, PP ini memperbolehkan ekspor pasir laut kembali. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu membeberkan alasan ‘mengapa pemerintah mengizinkan ekspor pasir laut?’. Jawabannya adalah untuk memberikan dasar hukum dalam memanfaatkan pasir laut yang terbentuk dari sedimentasi (pengendapan) untuk kebutuhan reklamasi maupun pengembangan sarana dan prasarana.

Di Indonesia, kebutuhan pasir laut biasanya digunakan untuk reklamasi (proses pembuatan daratan baru di laut). Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa “selama ini, kebutuhan reklamasi di Indonesia sangat besar namun sering kali merusak lingkungan karena material yang diambil adalah dengan cara mengeruk pasir dari pulau-pulau”. Pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan menimbulkan tanda tanya di tengah memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni.

Bagaimana bisa perizinan kembali ekspor pasir laut tidak merusak lingkungan seperti kebutuhan Indonesia akan reklamasi yang besar?

Padahal, pada masa Presiden Megawati, ekspor pasir laut sempat dilarang. Hal ini tercantum dalam Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 mengenai Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Larangan ini dikeluarkan untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas seperti tenggelamnya pulau-pulau kecil. Bahkan, kebijakan ekspor pasir laut ini dianggap gagal akibat dampak yang terjadi pada tahun 1997-2002. Di mana, pada saat itu Indonesia menjadi pemasok utama pasir laut bagi negara Singapura. Indonesia bahkan mengirim 53 juta ton pasir laut/tahun. Dan hasilnya Indonesia kehilangan pulau-pulau kecil dan keanekaragaman hayati khususnya di sekitar daerah terluas dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau.

Baca Juga: Ekspor Pasir Laut Disebut untuk Penuhi Kebutuhan Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan Dianggap Melawak

Pengerukan pasir yang dilakukan secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura telah memperlihatkan bagaimana Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal Pulau Nipa menjadi salah satu tolok ukur mengenai perbatasan Indonesia dan Singapura. Selain Pulau Nipa, Indonesia juga telah kehilangan Pulau Ubi Besar yang menjadi salah satu pulau di Kepulauan Seribu Jakarta akibat dari pengerukan pasir.

Jika diperhatikan, perizinan kembali terhadap kebijakan ekspor pasir laut ini seperti membaca buku yang sudah tahu ending-nya. Jika sudah jelas ekspor pasir laut dapat merusak lingkungan, lalu kenapa pemerintah tetap bersikeras untuk kembali mengesahkan PP tersebut? Sepertinya bagi pemerintah, tidak masalah jika lingkungan mengalami kerusakan asalkan reklamasi di dalam negeri, bahkan khususnya wilayah IKN serta pembangunan infrastruktur dan prasanaa berjalan dengan baik meskipun ekspor pasir laut dapat memberikan dampak negatif terhadap ekosistem dan wilayah pesisir di pulau-pulau kecil. Pasalnya, abrasi air laut bisa saja merusak sarana dan prasarana masyarakat.

Padahal, setiap tahun permukaan air laut naik antara 0,8 meter hingga 1 meter akibat krisis iklim. Kekhawatirannya adalah, di tengah kondisi eksploitasi pasir laut secara besar-besaran, maka hal ini bisa saja mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia.

Selain itu, dalam PP 26, disebutkan juga mengenai ‘ekspor pasir laut merupakan pilihan paling akhir”. Jadi, apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, maka pemerintah baru akan melakukan ekspor pasir laut.

Lalu, apakah ekspor pasir laut menguntungkan pemerintah Indonesia dan masyarakatnya?

Baca Juga: Greenpeace ‘Cuekin’ Menteri KKP soal Tim Kajian Ekspor Pasir Laut: Pulau Kecil Indonesia Rusak

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat