kievskiy.org

Hakikat Mantra pada Era Milennial

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Pixabay/Thor_Deichmann

PIKIRAN RAKYAT - Suhu politik sudah mulai memanas, menghadapi pemilihan presiden dan wakilnya serta anggota legislatif dan pilkada. Jika dicermati, spanduk, baliho, maupun banner, sudah banyak yang terpampang di berbagai ruas jalan strategis. Bisa dikatakan bahwa ‘perang’ spanduk sudah mulai beraksi, dari mulai ukuran kecil sampai ukuran terbesar. Apa pun bentuk dan ragamnya, para caleg atau calon presiden yang nama dan foto mereka tampak dalam spanduk dan jenis lainnya tersebut bertujuan agar nama dan foto mereka dilihat, dikenal, bahkan diingat oleh siapa pun yang memandang. Lebih jauhnya, agar orang yang melirik ‘terpikat’ dan memilih mereka.

Sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, urusan pikat memikat dari zaman dulu hingga era milenial saat ini, hakikatnya masih sama. Pemasangan berbagai atribut berkaitan dengan pemilihan presiden, legislatif, dan pilkada termasuk ke dalam komunikasi verbal & komunikasi visual, yang ada hubungannya dengan ‘mantra’. Apa itu mantra? Sekilas akan dibahas melalui kajian sastra/filologi dan kearifan lokal budaya.

Mantra adalah karya sastra berjenis dan berunsur puisi, yang memiliki unsur rima, irama, diksi, citraan, dan majas, berisi semacam kata-kata berupa jampi-jampi bermakna magis dan mengandung kekuatan gaib, misal dapat menyembuhkan, memikat, memengaruhi, juga mendatangkan celaka, dan lainnya, yang isinya dapat mengandung bujukan, kutukan, atau tantangan yang ditujukan kepada lawannya atau orang yang dapat dipengaruhinya, untuk mencapai suatu maksud/tujuan tertentu, melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam maupun di belakangnya, diucapkan oleh dukun atau pawang, atau diri sendiri, untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Sumarlina, 2012 & 2021).

Baca Juga: Pemberlakuan WFA bagi PNS, Babak Baru Dunia Birokrasi di Jawa Barat

Mantra selama ini dikenal sebagai sastra lisan, meskipun sebenarnya istilah mantra sudah tercantum dalam teks naskah Sunda abad XVI Masehi berbahan lontar, beraksara dan berbahasa Sunda buhun ‘kuno’, yang berjudul Sanghyang Siksakandang Karesian. Berdasarkan inventarisasi, diketahui sebanyak kurang lebih 76 buah naskah yang secara khusus berupa mantra dan kumpulan doa atau uraian yang pada kenyataannya lebih bersifat mantra (Sumarlina, 2012 & 2021). Keberadaan mantra, terkait dengan Kropak 421, yang berisi beberapa teks naskah campuran (gemengd), meliputi empat buah teks naskah, yang terdiri atas Silsilah Prabu Siliwangi, Mantra Aji Cakra, Mantera Darmapamulih, dan ajaran Islam, yang khusus untuk teks terakhir tersebut berisi ajaran Islam. (Ekadjati, dkk., 2004; Sumarlina, 2012). Bahasa yang digunakannya pun adalah bahasa Sunda buhun, tetapi ada sebagian teks berbahasa Jawa dan Arab.

Puisi mantra terbagi atas tujuh macam, yakni: ajian, asihan, jampé, jangjawokan, pélét, rajah, dan singlar (Sumarlina, 2012). Teks dan konteks mantra yang dibacakan para pengamal mantra disesuaikan dengan konteksnya, yang meliputi: isi, tujuan, nu dipuhit ‘yang diseru’, serta pameuli ‘syarat yang harus dilaksanakan’. Keberadaan pameuli menjadi hal yang mendominasi maunat ‘berkhasiat’ tidaknya sebuah mantra yang dibacakan. Mantra sebagai ‘dokumen budaya’ dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat pengamal mantra hingga kini, meski implementasinya disesuaikan dengan kecanggihan ilmu dan teknologi di setiap masa. Transformasi teks lisan hadir tatkala teks mantra dibacakan oleh pengamal mantra, apakah itu dukun, pawang, atau dirinya sendiri, hanya membacakan beberapa mantra yang dihafalnya saja. Berkaitan dengan fungsi mantra lewat kajian sosiologi sastra berdasarkan mimetik, ekspresif, dan pragmatik, mampu mengetengahkan eksistensi dan fungsi mantra dalam upaya mengungkap positif dan negatifnya penggunaan mantra bagi masyarakat pengamal mantra berbasis ilmu pengetahuan.

Unsur komunikasi verbal maupun visual dalam baliho, spanduk, banner maupun buku, jika dikaitkan dengan unsur ‘kemantraan’ sesuai jenisnya, termasuk ke dalam mantra pélét ‘pemikat’, karena berfungsi dan bertujuan untuk memikat, memengaruhi, mengajak, menyuruh, orang lain yang melihatnya tertarik kepada ‘orang’ atau ‘benda’ yang dilihatnya. Lalu apa bedanya dengan asihan ‘pekasih’? Meskipun keduanya sama-sama untuk memikat, ada perbedaan fungsi di antara keduanya. Asihan ‘pekasih’ yaitu pemikat khusus untuk dirinya sendiri, agar orang yang dicintainya mengasihi, menyayangi, dan menyintainya dengan sepenuh hati, dan tidak ada unsur memperdaya orang lain. Sementara itu, pélét adalah pemikat untuk semua orang atau orang lain yang melihatnya, yang akhirnya ‘memilih’ dirinya sesuai dengan keinginannya, yang sebenarnya tidak ada unsur pemaksaan, unsur merugikan, serta unsur memperdaya orang lain.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendeskriditkan siapa pun, tetapi hanya sekadar menyampaikan salah satu kearifan lokal tinggalan nenek moyang masyarakat Sunda dari sudut pandang keilmuan. Yang sangat diharapkan oleh masyarakat adalah pemimpin yang mampu ngretakeun urang reya atau memberdayakan dan menyejahterakan banyak orang. Selain itu, ngretakeun bumi lamba atau memberdayakan dan menyejahterakan alam dunia, sebagaimana yang dilakukan oleh raja-raja Sunda (khusus masyarakat Sunda) pada masa lampau, yang digelari Siliwangi, raja/pemimpin yang harum namanya, agar dicintai, disegani, dan dikenang selamanya. Semoga! (Elis Suryani - Dosen FIB Unpad)***

Disclaimer: Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat