kievskiy.org

Perlunya Perbaikan Parpol untuk Citra Positif

Pedagang mendorong gerobak berisi buah melintas di depan sejumlah bendera partai politik nasional yang dipasang di jembatan Pantee Pirak, Kota Banda Aceh, Sabtu (23/3/2019).
Pedagang mendorong gerobak berisi buah melintas di depan sejumlah bendera partai politik nasional yang dipasang di jembatan Pantee Pirak, Kota Banda Aceh, Sabtu (23/3/2019). /ANTARA/Ampelsa

PIKIRAN RAKYAT - Menjelang pemilihan umum legislatif 2024, partai politik (parpol) ternyata masih memiliki citra buruk akibat ulah lancung seperti korupsi dan kinerja buruk oknum anggotanya, misalnya dari segi mengesahkan undang-undang kontroversial seperti UU KPK dan UU Cipta Kerja. Akibatnya, sebagian masyarakat antipati terhadap partai politik alias mengalami gejala deparpolisasi. Banyak orang jadinya tidak memiliki kesetiaan terhadap satu partai atau bahkan antipartai sama sekali. Secara kuantitatif, ini terlihat dari data bahwa identifikasi atau afiliasi loyal pemilih Indonesia dengan partai politik (party ID) di Indonesia terus turun dari 86% pada pemilu 1999 ke 55% pada pemilu 2004, 20% pada 2009, 14% pada 2014, dan 12% pada pemilukada 2017 (Psikologi Politik, Penerbit Kompas, 2022).

Mau tak mau, citra buruk parpol ini mengingatkan kita pada pidato Presiden Soekarno tanggal 28 Oktober 1956 (Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1988). Waktu itu, Soekarno mengungkapkan kegeramannya betapa partai-partai saling menyikut satu sama lain. Sang Proklamator mempersepsikan Indonesia dilanda penyakit kepartaian yang bobrok, menghasilkan ketidakstabilan dan kemerosotan akhlak negara.

Betapa relevannya pidato di atas di tengah kegeraman masyarakat terhadap tidak akomodatifnya partai politik di parlemen terhadap aspirasi rakyat, sehingga bersikap sinis pada demokrasi. Padahal, jika pesimisme ini berlanjut, demokrasi kita berpotensi terjerembab lagi ke dalam sistem non-demokratis.

Baca Juga: Iduladha 1444 H, Potensi Perbedaan hingga Kesulitan Penentuan Hilal

Tentu skenario muram itu tidak kita harapkan sesudah seperempat abad menggeluti upaya reformasi. Oleh karena itu, penyakit deparpolisasi harus diperbaiki dengan memperbaiki kekurangan yang ada di dalam parpol.

Empat Solusi

Setidaknya ada empat solusi konkret yang bisa diajukan. Pertama, jumlah partai perlu disederhanakan. Instrumennya, Indonesia ke depan bisa tegas menaikkan ambang batas kursi parlemen (parliamentary threshold/PT) untuk melakukan seleksi alamiah terhadap partai politik. Secara konkret, angka PT saat ini yang 4 persen saja sudah berhasil memangkas jumlah partai di parlemen menjadi delapan. Maka, menaikkan PT sedikit lagi ke 5–6 persen bisa efektif mewujudkan jumlah partai menjadi sekitar lima atau enam partai.

Kedua, partai politik harus memberikan data lengkap yang mudah diakses publik terkait rekam jejak kinerja suara (voting track record) mereka di parlemen. Ini adalah daftar yang memuat bagaimana setiap partai beserta anggota mereka bersuara (menolak atau menerima) ketika membahas berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disodorkan kepada mereka selama periode 5 tahun berada di DPR. Sebagai contoh, partai politik A bisa memberikan data apakah mayoritas legislator mereka menolak atau menerima pengesahan RUU Cipta Kerja, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lain sebagainya selama 2019-2024. Dengan cara ini, publik bisa melihat secara cepat apakah partai sudah menyuarakan aspirasi mereka terkait undang-undang sebagai produk hukum yang langsung berdampak kepada masyarakat. Sehingga, rakyat pemilih bisa segera menyingkirkan parpol yang terbukti mengkhianati aspirasi mereka dan mendorong perbaikan parpol secara umum.

Baca Juga: Pabaliut, Birokrasi Penunjukan Penjabat Gubernur Jawa Barat

Ketiga, untuk menghindarkan parpol menjadi “lahan rente”, kita perlu mengatur lebih rinci soal sumber dan transparansi pendanaan partai. Utamanya, batasan soal dana pembelanjaan partai. Padahal, batasan seperti ini berguna untuk memangkas demokrasi berbiaya mahal (high-cost democracy) demi membiayai proses kampanye dan melumasi mesin politik partai. Karena itu, perlu dipatok batas maksimal biaya yang dikeluarkan oleh partai politik atau calon pemimpin.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat