kievskiy.org

Pabaliut, Birokrasi Penunjukan Penjabat Gubernur Jawa Barat

Ilustrasi Pemilu 2024. Rumitnya birokrasi dalam penunjukan penjabat Gubernur Jawa Barat.
Ilustrasi Pemilu 2024. Rumitnya birokrasi dalam penunjukan penjabat Gubernur Jawa Barat. /Pixabay/mohamed_hassan

PIKIRAN RAKYAT - Rumitnya birokrasi di negeri ini sudah dipersoalkan sejak lama. Upaya untuk menyederhanakannya juga sudah dilakukan, di antaranya lewat reformasi birokrasi. Namun, terbukti upaya tersebut tidak mudah. Terlalu banyak kendala, salah satunya adalah pola pikir dari pembuat aturan itu sendiri.

Satu hal yang sedang menjadi pembicaraan belakangan ini adalah proses penunjukan penjabat Gubernur Jawa Barat. Kebijakan pemilihan kepala daerah secara serentak menyebabkan timbulnya kekosongan kepala daerah selama waktu tertentu. Untuk Jawa Barat, rentang waktu itu cukup panjang, hampir satu tahun lamanya.

Mulai 5 September 2023 mendatang, jabatan Ridwan Kamil sebagai gubernur dan Uu Ruzhanul Ulum sebagai wakil gubernur akan habis, sementara pemilihan gubernur yang baru akan berlangsung tahun depan. Masalahnya, untuk mengisi kekosongan tersebut siapa yang akan ditunjuk sebagai penjabatnya?

Persoalan yang sebenarnya sederhana ini menjadi rumit karena aturannya memang demikian. Prosesnya, setiap fraksi yang ada di DPRD Jabar berhak mengusulkan tiga calon. Hitung-hitungannya, karena ada delapan fraksi, akan muncul 24 calon, meski dalam prosesnya bisa tidak persis seperti itu. Selanjutnya nama-nama yang terpilih oleh DPRD diusulkan kepada Mendagri yang memiliki kewenangan memutuskannya.

Baca Juga: Masker Dilepas, Mari Hirup Udara Tak Berkualitas

Proses seperti itulah yang menyebabkan pihak DPRD Jabar kurang bergairah. Singkat katanya, susah-susah melakukan pemilihan, yang memutuskan justru pihak lain. Kerumitannya memang di sana. Mengapa aturannya dibuat seperti itu? Apakah terbuka kemungkinan terjadinya permainan dalam proses tersebut?

Kemungkinan ke sana selalu ada. Kecurigaannya adalah memanfaatkan kewenangan untuk dimanipulasi menjadi transaksi. Yang namanya pungutan liar atau suap bisa terjadi dalam berbagai modus. Penyebabnya bukan semata aturan yang rumit, melainkan juga mentalitas manusianya.

Apakah aturan yang rumit akan mampu mencegahnya? Yang mungkin terjadi justru sebaliknya. Kerumitan proses bisa dibuat sedemikian rupa sehingga segala kemungkinan bisa terjadi, bahasa halusnya negosiasi. Muncullah beberapa pertanyaan. Mengapa kewenangan menentukan keputusan akhir harus diserahkan kepada Mendagri? Bukankah gubernur beserta wakilnya terpilih lewat pemilihan langsung warga?

Apakah pihak kementerian memendam kecurigaan, seandainya seluruh proses dipercayakan kepada DPRD, kemungkinan akan terjadi transaksi? Kecurigaan seperti itu masuk akal. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa di tingkat kementerian pun transaksi sejenis itu tidak akan terjadi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat