kievskiy.org

Konstruksi Ritualis-Sosialis Haji

Ilustrasi ibadah haji saat sebelum pandemi.
Ilustrasi ibadah haji saat sebelum pandemi. /Pixabay/Konevi Pixabay/Konevi

PIKIRAN RAKYAT - Haji sebagai sebuah filsafat tindakan dan filsafat masyarakat yang terbungkus simbol seperti digambarkan dalam kebersamaannya dalam tawaf, melepaskan pakaian-pakaian birokratis, usahanya yang terus menerus ketika sai, tindakan yang sama dengan disertai kesucian dari asesoris. Pada puncaknya diusahakan mencapai kesadaran diri saat wukuf di Arafah (Arafah: sadar dan tahu).

Matra perorangan tidak dapat dipahami dan absurd tanpa matra kemasyarakatannya. Haji sebagai senjata spiritual akan menemukan senjata materialnya dalam melakukan pembebasan yang revolusioner kepada kaum lemah. Tanpa usaha itu, haji yang semula bersifat emansipatoris akan merosot pada kontemplasi dan dogma mati. Max Horkheimer, pendiri Mazhab Frankfurt, pernah berpendapat bahwa walaupun ilmu-ilmu nampaknya rasional (moral), tetapi dalam kenyataan ilmu-ilmu itu irrasional (immoral) ketika mendukung suatu sistem yang irasional. Sistem itu irasional karena tidak membahagiakan manusia dan tidak sanggup untuk menciptakan hubungan sosial yang benar, yang sungguh-sungguh manusiawi (Franz Magnis S, 1981).

Predikat haji pada masa penjajahan memiliki daya pikat, wibawa, dan kharisma untuk menggerakkan massa menentang penjajah. H.O.S. Tjokroaminoto, Hasyim Asy’ari, Samanhoedi, Agus Salim, dan haji-haji lainnya dari nusantara adalah para pemimpin yang mampu memompakan semangat perjuangan, kemerdekaan, dan kebangkitan.

Baca Juga: Kemunduran Partai Islam pada Pemilu dan Post-Islamisasi

Mereka di Makkah tidak hanya melakukan ritual haji, tetapi mencari sentuhan pendidikan yang diajarkan para pembaharu muslim, bertukar pikiran, dan kemudian setelah pulang ke tanah air mengajarkan paham pembaharuan yang mereka peroleh kepada warga muslim di Indonesia. Dalam kaitannya dengan teori kritik masyarakat atau Horkheimer, usaha-usaha mereka adalah usaha yang rasional atau bermoral.

Predikat haji masa sekarang ini tentu sangat berbeda dengan masa penjajahan. Kharisma dan wibawa yang dikandung predikat haji semakin meredup. Selain akibat melonjaknya jumlah haji, fenomena ini juga disebabkan haji bukan lagi digunakan sebagai wahana menyadarkan diri akan berbagai fungsinya sebagai seorang individu dan makhluk sosial. Hampi-hampir tidak ada pengaruh apa pun yang dibawa oleh para hujjaj Indonesia setelah kembali ke tanah air. Mereka tetap saja sama seperti sebelum “menunaikan” ibadah haji. Bahkan ada yang memaknakan haji tidak lagi sebagai sarana pendidikan jiwa, tetapi untuk menjadi “turis” sesaat di tanah suci.

Patut disyukuri memang, masih ada semangat untuk melestarikan ritus agama. Namun, sangat disesalkan fungsi asli dari ajaran Islam yang sangat teologis itu sayup-sayup hilang. Lebih tragis lagi, sisa-sisa kharisma dan wibawa predikat haji bukan digunakan untuk usaha yang “rasional”, tetapi untuk memanipulasi politik, mencari massa untuk kemenangan diri dan golongannya. Fungsi ibadah haji sebagai institusi pendidikan untuk membentuk tindakan rasional pada ujungnya hanya memiliki efek pemberian gelar “H” saja. Inilah yang kemudian saya istilahkan dengan “haji politik”, yakni karena banyak diduga untuk tidak mengatakan semata-mata ia lebih bersifat politis dan mengisi kejengahan spiritual pribadi.

Baca Juga: Rusia Membutuhkan Reformasi

Ketika Tuhan memerintahkan ibadah haji, tujuannya adalah sangat rasional. Dalam hal ini, membentuk kesadaran manusia akan eksistensi dirinya (to be sensitive to reality) bahwa dia bukan hanya makhluk pribadi yang hidup sendiri, tapi ia juga makhluk sosial yang bertanggung jawab atas kondisi masyarakat. Maksud ini terbungkus dalam Sabda Rasul Al-Hajju ‘Arafah, inti, dan puncak ibadah haji itu wuqkuf di Arafah.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat