kievskiy.org

Pesantren Al Zaytun dan Delik Agama

Masjid Rahmatan Lil Alamin yang berada di Pondok Pesantren Al Zaytun di Gantar, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (4/7/2023).
Masjid Rahmatan Lil Alamin yang berada di Pondok Pesantren Al Zaytun di Gantar, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (4/7/2023). /ANTARA/Dedhez Anggara

PIKIRAN RAKYAT - Dalam dua minggu terakhir, masyarakat disibukkan dengan berita soal pesantren Al Zaytun, khususnya tentang pernyataan dan keterangan dari pimpinannya yaitu Panji Gumilang. Berbagai praktik ibadah di lingkungan pesantren tersebut dan pernyataan Panji Gumilang dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah perbuatan menyimpang dari ajaran agama Islam sekaligus dianggap sebagai menista agama.

Di dalam KUHP (WvS) Undang-undang Nomor 1 tahun 1946, tidak ada bab khusus mengenai delik agama. Walaupun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai: pertama, delik menurut agama; kedua delik terhadap agama; dan ketiga delik yang berhubungan dengan agama. Misalnya, kategori pertama yaitu delik agama dalam KUHP banyak tersebar dalam pasal-pasalnya seperti misalnya pencurian, pembunuhan, fitnah, delik susila, dsb. Pendek kata, delik yang berhubungan dengan perbuatan dosa.

Delik terhadap agama dapat kita lihat dalam pasal 156a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama) serta sebagian sarjana memasukan delik pasal 156-157 (penghinaan terhadap golongan /penganut agama). Sedangkan delik yang berhubungan dengan agama dapat kita lihat dalam pasal 175-181 KUHP.

Baca Juga: Fenomena Politik Uang saat Kampanye

Kebebasan

Negara tentu menjamin setiap warga negara untuk menganut keyakinan masing- masing tentang agamanya. Dan negara tidak boleh ikut campur atau masuk ke dalam keyakinan warga negaranya, soal keyakinan adalah bagian asasi dari manusia dan tidak boleh siapapun mencampurinya, beragama adalah masalah privat dari warga negara. Kewajiban negara adalah menjamin bahwa tidak boleh ada gangguan dari pihak manapun mengganggu atau sikap intoleransi terhadap penganut agama lain, baik dari kalangan mayoritas atau minoritas. Negara harus menjamin adanya kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Jaminan kebebasan beragama yang diberikan pemerintah tentu saja semua pihak harus dapat mengimplementasikannya, Tidak dibenarkan salah satu pihak baik dari pemeluk agama lain maupun pemeluk agama itu sendiri melakukan tindakan, ucapan, atau perbuatan yang menyimpang dari spirit keagamaan dengan menyinggung intisari dari ajaran agama itu sendiri yaitu adanya Tuhan, Nabi, dan kitab suci.

Sebuah pernyataan atau tindakan berupa penyimpangan ibadah dari fikih yang disepakati dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang menista agama dan akan berujung kepada perbuatan melawan hukum menurut hukum positif dalam hal ini hukum pidana/KUHP sebagai perbuatan penodaan atau terhadap agama.

Baca Juga: Tantangan Dunia Pendidikan Indonesia Masa Kini

Pasal 156a KUHP Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 dengan tegas menyebutkan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di indonesia. (b) dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan yang maha esa.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat