kievskiy.org

Mengakhiri Kekerasan Seksual Anak

Ilustrasi kekerasan terhadap anak.
Ilustrasi kekerasan terhadap anak. /Pixabay/Counselling Pixabay/Counselling

PIKIRAN RAKYAT - Hari Anak Nasional (HAN) dirayakan setiap tanggal 23 Juli. Salah satu problem serius yang harus mendapat perhatian dalam refleksi dan peringatan HAN adalah masih maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan dan laki-laki, di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sejak 2019 sampai 2022 total kasus mencapai 31.725. Rinciannya pada 2019 terdapat 6.454 kasus, 2020 ada 6.980 kasus, 2021 ada 8.703 kasus dan 2022 ada 9.588 kasus.

Kekerasan seksual pada anak bukanlah problem baru dan sudah menjadi isu pelik dari masa ke masa. Sayangnya, tidak ada data kuat yang menegaskan gentingnya permasalahan ini sehingga penanganannya tidak optimal. Kekerasan seksual terhadap anak tersebut merupakan fakta yang tidak bisa lagi disembunyikan. Kasus kekerasan seksual anak tersebut ibarat gunung es, sedikit yang berhasil terungkap, tetapi kasus yang belum diketahui masih lebih banyak lagi. Sebagian besar korban (beserta orangtua masing-masing) enggan melaporkan kejahatan yang mereka alami karena malu. Bahkan banyak korban yang tidak bisa lagi melaporkan kejahatan tersebut karena telah dibunuh.

Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang paling jahat di antara seluruh kejahatan karena berdampak seumur hidup bagi korbannya. Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, pesantren, tempat ibadah, dan lingkungan sosial anak. Sedangkan untuk pelakunya adalah orang-orang yang harusnya melindungi anak seperti orangtua, paman, kepala sekolah, guru, guru ngaji (ustaz), orangtua angkat ataupun tiri, sopir pribadi hingga petugas kebersihan. Modus pelaku kejahatan seksual di lingkungan pendidikan bermacam-macam. Di antaranya ialah korban diwajibkan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sehingga sepi pengawasan, korban diancam akan mendapat nilai jelek atau sebaliknya diiming-imingi nilai bagus dengan syarat mematuhi permintaan pendidik, diberi bonus (uang, pulsa, handphone, dll) oleh pelaku, hingga dipacari, dan dijanjikan akan dinikahi.

Baca Juga: Skywalk dan Macan Kertas Tata Ruang Kota

Kekerasan seksual pada anak harus segera diakhiri! Upaya-upaya pencegahan (prevention), perlindungan (protection), penyatuan kembali (reintegration) bagi anak korban kejahatan seksual sudah sepatutnya menjadi perhatian dan tanggung bersama (orangtua, lembaga pendidikan, kepolisian, dan pemerintah).

Pertama, melakukan perang terhadap kekerasan seksual baik yang terjadi dalam lingkungan keluarga, sekolah, pondok pesantren, panti asuhan, dan masyarakat, serta menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Perbaikan ke depan dan perlindungan sepenuhnya terhadap anak dijalankan secara total oleh keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, dan negara tanpa diskriminasi.

Kedua, menjadikan Program Perlindungan Anak di Indonesia sebuah program prioritas bagi pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, pelaksanaan UU Perlindungan Anak dan Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945. Ayat 34 dan 35 dalam Konvensi Hak-hak Anak PBB mewajibkan negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi dan pelecehan seksual.

Ketiga, guru seharusnya menjadi orangtua di sekolah, bukan justru menjadi predator di dunia pendidikan. Guru dalam khasanah Jawa berarti “digugu lan ditiru” (ditaati dan dicontoh). Maka, moralitas para pendidik harus tetap dijunjung tinggi dalam proses pengajaran dan aktivitas pendidikan. Sosok guru harus mampu memberi contoh kepada para peserta didiknya baik di dalam dan luar lingkungan sekolah.

Baca Juga: Moral Pendidikan untuk Perbaiki Kualitas Hidup

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat