kievskiy.org

Perubahan Semenjak Pondok Pesantren Memasyarakat

Ilustrasi pesantren.
Ilustrasi pesantren. /Antara/Muhammad Bagus Khoirunas

PIKIRAN RAKYAT - Sejak disahkannya UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU RI No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren, kini pondok pesantren bukan hanya milik para Pangersa Ajengan yang berperilaku sufistik dan zuhud dan berlokasi di pojok perkampungan sepi, namun telah merambah ke perkotaan dengan manajemen yang lebih modern. Santrinya pun bukan lagi dari kelas kaum alit, tapi juga dari kelas kaum elit. Biaya pendidikannya pun jauh lebih mahal daripada pondok pesantren yang berlokasi di pojok perkampungan.

Di perkampungan baheula, seseorang yang berminat masantren cukup diantar orang tua menghadap Pangersa Ajengan sambil membawa oleh-oleh khas pakampungan. Setelah itu santri pun belajar dengan serba gratis, tanpa batas waktu. Bayarannya, paling-paling ikut membersihkan lingkungan pondok pesantren, mengawasi air kolam, atau membantu menyiangi kebun milik Pangersa Ajengan. 

Para santri sangat menghormati Pangersa Ajengan, Nyimas, dan Kang Aceng (anak pangersa ajengan atau pengajar muda). Jarang terdengar kenakalan santri dan pendidik yang memalukan, tak terdengar santri atau pendidik yang cunihin kepada santriwati. Satu-satunya kenakalan yang paling santer di kalangan santri pria baheula adalah mencuri ikan di kolam milik Pangersa Ajengan untuk dijadikan lauk makan liwet tutung (gosong).

Kini, sejak pondok pesantren memasyarakat, beragam persoalan mulai menerpa. Persoalan akhlak, terutama perilaku oknum pengajar pesantren dan santri yang cunihin alias pelecehan seksual mulai mengotori kesakralannya. 

Baca Juga: Urgensi Amandemen UU PTPPO demi Berantas Perdagangan Orang

Kasus “ustadz” Herry Wirawan yang merudapaksa hampir dua belas orang santriwati merupakan kasus terbesar pada penghujung tahun 2021 menjadi pembuka terhadap kasus pendidik cunihin di tempat lainnya. Kasus Mas Bechi di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur yang sebenarnya lebih dahulu terjadi sebelum kasus Herry Wirawan menjadi terang benderang dan dapat ditaklukan aparat sampai mendapatkan vonis dari pengadilan.

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan melaporkan, dalam rentang waktu 2015-2020, pondok pesantren menempati urutan kedua dalam perilaku cunihin alias kekerasan seksual, yakni 19% yang urutan pertamanya ditempati universitas sebanyak 27%. Sementara kekerasan seksual di tingkat SMA/SMK sebanyak 15%, SMP sebanyak 7%, dan 3% terjadi di tingkat TK, SD, dan SLB.

Baru saja usai menurunnya suhu persoalan cunihin, kini pondok pesantren kembali digegerkan kasus lainnya yang datang dari Ma’had Al-Zaytun, Indramayu. Padahal beberapa puluh tahun silam pondok pesantren ini sudah menjadi sorotan publik dan pemerintah dengan dugaan pengajaran ideologi Negara Islam Indonesia (NII). Ironisnya tak ada tindakan nyata dari pemerintah maupun instansi terkait.

Baca Juga: Relevansi Pesan Oppenheimer, Tanggung Jawab Etika Ilmuwan atas Temuannya

Dari beragam kasus yang melanda pondok pesantren, muncul pertanyaan filosofis, mengapa di pondok pesantren yang dahulu terkenal kesakralannya, bernuansa spiritual sufistik, kini dilanda kasus-kasus yang menggegerkan? Ada apa dengan pondok pesantren?

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat