kievskiy.org

Cerita Guru di Perbatasan Indonesia-Timor Leste, Sekolah Cuma Punya 2 Toilet untuk 500 Siswa

Bendera Timor Leste dan Indonesia.
Bendera Timor Leste dan Indonesia. /Twitter.com/@IndonesiaDili

PIKIRAN RAKYAT - “Sang Saka Merah Putih tetap berkibar. Kami jaga, kami pertahankan.” Demikian dikatakan Maria Goreti Soi Tai alias Bu Eti, pengajar di SD Inpres Sabulmil, Desa Lakmaras, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. SD Inpres Sabulmil terletak di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.

"Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, sekolah kami melaksanakan pembelajaran spesial. Selain pembelajaran tatap muka reguler, kami juga melaksanakan pembelajaran bertemakan sejarah kemerdekaan RI. Dialog sederhana tentang makna kemerdekaan dan upacara sekolah dengan penaikan bendera merah putih”, sebut Maria Goreti Soi melalui keterangan tertulis.

Di wilayah perbatasan, banyak masyarakat yang masih memiliki hubungan kekerabatan dan saudara dengan warga Timor Leste. Bahkan, beberapa siswa sekolah Indonesia sering bolos karena harus ikut orangtuanya berladang di wilayah Timor Leste.

Dalam keseharian, masyarakat di perbatasan NTT-Timor Leste menggunakan bahasa ibu yakni Bunag, Fehan, dan Dawam. Bahasa lokal inilah yang sering digunakan guru sebagai bahasa pengantar dalam mengajar.

Baca Juga: Dinas Pendidikan Ciamis Anggarkan Rp23 Miliar untuk Renovasi Sekolah Rusak

Menurut Maria Goreti Soi, di tengah keterbatasan dan sulitnya medan geografis, apalagi kini sedang musim kemarau dengan kekeringan yang ekstrem, pengabdian dia dan guru lainnya dalam membimbing para siswa sama sekali tak surut.

Sekolah mereka juga membuka "Kelas Jauh" yakni layanan mengajar untuk menjangkau  penduduk yang tinggal di pelosok. Jarak sekira 4-5 kilometer harus dilalui dengan jalan setapak yang terjal dan suhu udara yang menyengat.  Para guru melayani "Kelas Jauh" itu setiap hari tersebut kami lakukan setiap hari, untuk melayani siswa di sekolah induk dan sekolah kelas jauh. "Dan bila ada urusan tertentu ke kota, kami harus menempuh jarak 80 km untuk sampai ke Kota Atambua, ibu kota kabupaten Belu," sebut Maria.

Hal yang sama dikemukakan dikemukakan Silvina Claudian Moniz, guru SD Inpres Manulor, Desa Kewar, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). SD Inpres Manulor merupakan satu di antara sejumlah sekolah dasar di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Sekolahnya sederhana dan fasilitas juga terbatas.

Di tengah keterbatasan yang mengimpit, kata Silvina, para guru berkomitmen untuk terus berbakti mencerdaskan generasi muda NTT yang bermukim di wilayah perbatasan. Saat ini sarana dan fasilitas sekolah sangat terbatas. Malahan ada sejumlah ruangan yang sudah rapuh karena digerogoti usia.

Jumlah siswa di sekolah itu sebanyak 46 siswa. Mereka tinggal bersama orangtuanya yang yang bermukim di perkampungan warga lokal di areal lahan kering dengan curah hujan yang sangat sedikit. Latar belakang orang tua siswa, umumnya petani pada lahan kering yang sempit dengan penghasilan yang memprihatinkan. Jagung merupakan makanan sehari-hari yang dikonsumsi warga setempat sebagai makanan pokok. Perhatian pada anak untuk sekolah pun sangat kurang. Banyak anak yang bolos sehingga guru sering datang ke rumah warga agar anaknya kembali bersekolah.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat