kievskiy.org

Simulasi Realitas

Ilustrasi. Simulasi realitas.
Ilustrasi. Simulasi realitas. /Pixabay/geralt

PIKIRAN RAKYAT - Menyimak opini Sdr. Ade Sudaryat yang berjudul “Ateis Praktis dan Tuhan Empirik” (Pikiran Rakyat, 29 Agustus 2023), menarik untuk dicermati dalam perspektif sosial yang lebih membutuhkan nalar dan hati yang jernih nan tenang. Sebagai satu narasi yang beraroma filsafat agama, tentunya dinikmati banyak pembaca, sehingga tidaklah mudah untuk dapat memahami makna dan tujuan penulis terhadap artikel tersebut.

Bukankah untuk memahami filsafat agama atau Tuhan memerlukan ruang publik yang khusus, karena keterbatasan ruang di media massa/digital tentunya akan menyulitkan dan sekaligus membuat ambigu serta biasnya makna yang terkandung dalam tulisan tersebut. Sdr. Ade Sudaryat mengakui sebagai penulis lepas yang benar-benar ‘lepas’ dari kebenaran ilmiah, sehingga konsep diri dan sosialnya tampak ada kegundahan dan atau keraguan akan realitas yang dihadapinya. Walaupun penulis menutup dengan ayat suci di akhir tulisannya, tetap saya sebagai pembaca kehilangan makna.

Simulasi Realitas

Sebagai penikmat filsafat, sering kali batin dan nalar bertabrakan untuk menyampaikan gagasan Friedrich Nietzsche dan Thomas L. Friedman kepada para mahasiswa, kecuali dengan catatan khusus, bahwa belajar filsafat agama, perlu dikawal dengan keimanan dan memerlukan pendamping yang lebih piawai tentang agama dan melalui forum khusus pula.

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin membatasi bahwa opini yang disampaikan rekan Ade Sudaryat perlu disikapi dengan bijak melalui analisis wacana dalam konteks sosial tertentu sebagai kontruksi dan atau representasi pembaca yang memiliki kebebasan penuh untuk menginterpretasi setiap teks atau narasi yang mengemuka dalam berbagai saluran media, seperti halnya gagasan kaum hermeneutika.

Baca Juga: Ateis Praktis dan Tuhan Empirik

Sebuah teks atau wacana yang muncul dalam format media apa pun, telah melahirkan berbagai paham, ada semiotika, framing, dan Analisis Wacana Kritis (AWK). Kiranya para pembaca bisa lebih mengelaborasi lebih jauh secara komprehensif. Alih-alih filsafat keagamaan sering kali berujung pada keyakinan penulis atau pembacanya secara parsial. Benar bahwa tidak semua narasi keagamaan dapat dipahami logika ilmiah kita. Sehingga terdapat kalimat “sami’na wa atho’na” kami dengar kami taat.

Bagi Jean Baudrillard, apa pun jenis realitas yang mengemuka dan menjadi arena pertarungan dan pegangan tidak lebih, hanya sekadar demi gengsi/prestise dan atau simulasi serta realitas semu, makna sebenarnya jauh terkalahkan oleh euforia seremonial/pencitraan yang sarat dengan kepalsuan simbol. Untuk itu gagasan penulis tentang “Ateis Praktis dan Tuhan Empirik” tidak akan memadai jika hanya didekati satu pemikiran atau narasi ketuhanan, sementara kaum ateis sendiri kita tidak pernah tahu siapa realitas mereka sebenarnya di balik teks yang mereka sampaikan. Kita dalam belajar agama, akan lebih jelas jika memahami asbabun nuzul (riwayat satu ayat atau hadis).

Dalam masyarakat kekinian, realitas tentang media sosial, konten serta teknologi komunikasi lainnya bagi Baudrillard yang diinspirasi oleh kawan-kawannya (a.l. Marx, Engel, Coser, Durkheimian, Nietzsche, Sartre, Freud, Dostoyevsky, dan Bataille), terutama dalam salah satu karyanya Simulacra and Simulations (1985), Baudrillard menyebutkan bahwa masyarakat simulasi, merupakan suatu bentuk karakter identitas masyarakat kontemporer di mana kehidupannya selalu diganggu dengan absurditas kode, tanda dan simbol, dan bentuk model sebagai produksi dan reproduksi (simulacra).

Manusia terjebak pada nihilnya realitas nyata, yang ada adalah simbol kepalsuan dari imajinasi yang mereka konstruksi demi gaya hidup dan atau prestise. Terdapat jurang yang menganga antara kebenaran dan kepalsuan. Oleh karena itu, yang dihasilkan dalam realitas ini adalah keadaan semu dan hasil simulasi palsu (hiper-realitas).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat