kievskiy.org

Membaca Perubahan pada Masa Kebangkitan Asia

Ilustrasi negara-negara di Asia.
Ilustrasi negara-negara di Asia. /Freepik

PIKIRAN RAKYAT - Kebangkitan Asia sedang terus menggeliat, bukan sebatas di kawasan Asia-Pasifik tapi juga di kawasan Asia Barat. Motor penggeraknya terutama China dan India. Kedua negara yang penduduknya paling banyak di dunia ini terus berlomba memainkan peran yang pragmatis.

Sementara di wilayah Teluk, Arab Saudi makin kencang ingin menunjukkan perannya. Tembok penghalang yang semula dianggap kokoh, pelan tetapi pasti mulai bisa dikikis.

Ekspansi China benar-benar berskala naga, menggemparkan, kadang menakutkan, meragukan, tapi juga menawarkan daya tarik. Gerak langkahnya bukan sebatas wilayah-wilayah tetangganya, melainkan juga merambah sampai Afrika dan Amerika Latin, dua benua yang jarang terjamah. Indonesia sedang merasakan kegalauan sejenis itu lewat projek kereta api cepat yang kontroversial.

Baca Juga: Ateis Praktis dan Tuhan Empirik

Sementara India menempuh jalan yang sedikit berbeda. Warga keturunan mereka yang berdiaspora ke banyak negara pelan tapi pasti menunjukkan keunggulannya. Di Inggris terpilih sebagai perdana menteri, di AS terpilih sebagai wakil presiden, sementara perusahaan raksasa sekelas Microsoft dan Google pun memercayakan sumber daya manusia keturunan India untuk memegang kendali utama jaringan raksasa bisnisnya.

Tak kurang menarik perhatian adalah arah yang dipilih Arab Saudi. Tanpa mengendorkan relasinya dengan Washington, Riyadh sangat aktif menjalin hubungan dengan Beijing. Dinasti Ibnu Saud yang sangat ketat mematuhi tradisinya yang keras, secara intensif membaca arah perubahan yang sedang terjadi. Salah satu yang terus menjadi perbincangan adalah sikapnya terhadap Israel. Kepentingan pragmatis ternyata mampu merobohkan dogma yang menjadi anutan selama puluhan tahun.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Jika bangsa kita kurang arif membaca arah perubahan abad ini, bukan mustahil kalau akan terjebak dalam jaring-jaring yang cukup rumit. Misalnya, hubungan kita dengan China. Investasi besar-besaran yang digelontorkan Beijing, sampai sekarang masih terasa gejolaknya. Yang paling berat adalah pandangan traumatis terhadap peristiwa sepanjang awal sampai pertengahan dasawarsa 1960-an. Bagi sebagian dari kita, seberapa hebatnya daya tarik China, cap komunis masih kuat dalam ingatan.

Baca Juga: Bayang-Bayang Krisis Pangan Pascapandemi Covid-19

Demikian juga persepsi terhadap Israel. Langkah Arab Saudi yang makin dekat dengan negara Yahudi tersebut, bagi kita menimbulkan keraguan yang mendalam. Bukankah selama ini Indonesia dan Arab Saudi merupakan dua kekuatan pendukung kemerdekaan Palestina? Jika hubungan Riyadh dan Tel Aviv makin mesra, lalu bagaimana dengan masa depan rakyat Palestina?

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat