kievskiy.org

Persepsi terhadap Sampah Harus Diubah agar Jadi Komoditi yang Menjanjikan Penghasilan

Sejumlah truk membuang sampah di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sementara/darurat Sarimukti, Desa Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, pada Jumat, 1 September 2023. TPS sementara dibuka meskipun menuai penolakan sejumlah warga.
Sejumlah truk membuang sampah di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sementara/darurat Sarimukti, Desa Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, pada Jumat, 1 September 2023. TPS sementara dibuka meskipun menuai penolakan sejumlah warga. /Pikiran Rakyat/Bambang Arifianto

PIKIRAN RAKYAT -  Pada 16 Oktober 2023, Pikiran Rakyat kembali mengupas persampahan di ibu kota Provinsi Jawa Barat. Lambannya pengangkutan sampah ke Sarimukti akibat kebakaran banyak menimbulkan persoalan mulai dari produsen sampah. Tumpukan sampah di rumah tangga sampai ke tempat penampungan sementara berdampak buruk terhadap kesehatan lingkungannya sendiri.

Agaknya produsen sampah kaget dengan kondisi saat ini. Menjelang hujan, bisa jadi aromanya semakin pengar alias menusuk tajam. Untuk itu, antisipasi oleh pemerintah terus dilakukan. R3 (reuse, recycle, reduce) ataupun Kang Pisman agaknya memang belum membudaya akibat sosialisasi yang cacag nangkaeun. Akibatnya, penanganannya menjadi sporadis dan tidak sistematis dan tuntas. Tidak heran jika pengelolaan sampah berkesan mengumpulkan dan membuang ke TPS terus TPA.

Geuleuh

Jika Korten (1984) menyampaikan bahwa ruang semakin menyempit dan penduduk bertambah banyak, maka persoalan sampah bukanlah persoalan ringan. Kesulitan mencari lahan TPA bisa semakin sulit dan serius. Legok Nangka pun masih belum tampak geliat aktivitasnya. Sejumlah daerah yang menyewa lahan di luar wilayahnya berkompensasi semakin besar karena lingkungan TPA hampir pasti tidak mau dijadikan pembuangan sampah.

Baca Juga: Bandung Lautan Sampah, Identitas Tempat Pembuangan Kembali Melekat

Bisa jadi 3R dan Kang Pisman pun belum bergigi mengingat kantong pembuangan sampah yang awalnya dipajang di setiap jalan raya pun menjadi berkurang, rusak, dan bahkan hilang. Komunikasi agaknya lalai untuk dibangun, padahal menjadi penting seperti Edwards III (1980) tuliskan. Gagalnya komunikasi bisa jadi inkonsistensi serta clarity sering tidak puguh dan tidak mampu mengaktifkan kreasi kelompok sasarannya. Dampaknya malah bisa berbuntut cibiran.

Tahun 1989, upaya pemisahan sampah telah dirintis almarhum Prof Hasan Poerbo, tetapi dalam perjalannya tidak berlanjut. Boleh jadi dekade tersebut lahan masih luas dan bisa membuang di lahan miliknya, ditambah ada proyek BUDP sehingga tidak gayung bersambut. Kini, hal tersebut justru kian kritis dan perlu intensitas komunikasi dengan seluruh pihak ditingkatkan. Bagi daerah yang masih longgar lahannya, kecermatan pun perlu dilakukan agar jangan rasamokaha.

UU 18/2008 pun menyadari keragaman sampah dan metode pengelolaan yang dianggap belum sesuai. Tidak heran gaung UU tersebut pun tampaknya tenggelam ibarat air di daun talas. Perubahan perilaku agaknya masih sulit diupayakan mengingat kreasi menciptakan bungkus ramah lingkungan belum banyak digunakan. Tidak heran kondisi ini berbalik menjadi beban tatkala terjadi persoalan di TPA.

Baca Juga: Keberadaan Masyarakat Adat Jawa Barat Harus Diakui, Kepemilikan Tanah Ulayat Wajib Disahkan

Bila fa Inna ma'al Usri Yusra (sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan), maka situasi darurat sampah membuka peluang untuk lebih bisa bermanfaat. Agaknya persepsi terhadap sampah harus terus diubah agar tidak semakin geuleuh. Bahkan perlu dibangun agar menjadi komoditas yang mulai menjanjikan penghasilan. Bisa jadi dengan pemilahan, sampah anorganik menjadi semakin sedikit yang terbuang, sedangkan sampah organik bisa didaur ulang untuk kesuburan tanah tempat buangannya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat