kievskiy.org

Keberadaan Masyarakat Adat Jawa Barat Harus Diakui, Kepemilikan Tanah Ulayat Wajib Disahkan

Ilustrasi masyarakat adat di Jawa Barat - Kampung Adat Miduana di Desa Naringgul, Cianjur, Jawa Barat.
Ilustrasi masyarakat adat di Jawa Barat - Kampung Adat Miduana di Desa Naringgul, Cianjur, Jawa Barat. /Antara/Ahmad Fikri

PIKIRAN RAKYAT - Kelompok-kelompok masyarakat adat di Jawa Barat telah lama dikenal. Bahkan wilayah-wilayah tempat tinggalnya telah menjadi objek wisata. Umpamanya di wilayah Banten (provinsi sekarang, setelah menjadi provinsi baru, lepas dari Jawa Barat), ada suku Baduy, bagian Barat Jawa Barat), di bagian timur ada suku Cigugur, Kuningan, bagian Selatan Cirebon, suku Kasepuhan, di Cipta Gelar, Sukabumi, suku Naga, di bagian selatan Tasikmalaya, Suku Kuta, di bagian timurnya Ciamis, dan lain-lain. Hampir semua wilayah tempat tinggal mereka kini dijadikan sebagai tempat wisata.

Tempat-tempat mereka itu, berbeda dengan kampung-kampung tetangganya yang terdekat. Keadaan alamnya, kontur tanahnya, selalu berbukit, ada sungai bersih yang mengalir, rumah-rumah yang tidak memakai genting dan rumah-rumah mereka selalu rumah panggung, dan keadaan lingkungannya selalu bersih dan asri. Itulah lingkungan mereka yang selalu bersih dan tertata dengan rapi. suku Kasepuhan dan suku Baduy, merasa diri masih saling bersaudara.

Kelompok masyarakat adat dapat didefinisikan sebagai sekelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, dan tempat tinggal tersendiri atau, kesenian, atau kebudayaan dan agama. Pada kelompok-kelompok masyarakat adat itu, anutannya berasal dari agama mereka sendiri (wiwitan), bukan agama formal yang diakui undang-undang Pemerintah Indonesia. Kebudayaan itu pun diteruskan sebagai tradisi yang berlangsung lama dan diajarkan kepada turunan mereka untuk dilestarikan.

Baca Juga: Bandung Lautan Sampah, Identitas Tempat Pembuangan Kembali Melekat

Kelompok-kelompok masyarakat adat yang ada di Jawa Barat bermata pencaharian umumnya bertani, mengolah, dan mengelola tanah. Namun, pada umumnya mengolah tanah dengan cara bertani ngahuma, yang dalam istilah antropologi dengan sistem tebang bakar atau dikenal dengan istilah perladangan, jarang yang bertani bersawah. Kalau di Cipta Gelar, Sukabumi, atau Baduy, Banten, dikenal dengan nama perladangan berpindah. Kalau kelompok masyarakat adat yang sistem ekonominya nelayan, di pantai laut atau mencari ikan di sungai, tidak ditemukan. Kalaupun ada yang mencari ikan di pinggir sungai, bukanlah sistem ekonomi yang pokok.

Sebagai kelompok masyarakat yang bertani, masalah pokok bagi mereka adalah masalah pemilikan tanah (property right). Hanya masalah pemilihan tanahnya berbeda dengan kelompok masyarakat lain yang umum. Biasanya, pada masyarakat adat ini, pemilikan tanah untuk rumah dan bertani dimiliki secara umum, oleh semua yang dianggap dan diakui anggota kelompok masyarakat adat, tidak dimiliki perorangan atau individual oleh hukum formal negara. Tanah untuk pemukiman, untuk pertanian, tanah untuk kantor-kantor umum, untuk hutan, dan lainnya, dimiliki oleh semua anggota masyarakat, bukan milik perorangan. Tanah milik umum itu dikenal dengan nama tanah ulayat, hanya untuk pembagian pemakaiannya dilakukan dan ditentukan oleh orang yang dianggap sebagai sesepuh adat, atau ketua adat, yang biasanya juga bersifat turun-temurun.

Masalah Penguasaan Tanah

Banyak masalah yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat adat di luar Jawa yang Barat, terutama masalah penguasaan tanah (tanah ulayat) ini. Terutama dengan masyarakat luar atau dengan pihak eksternal, bukan dengan kelompok dalam, atau di antara mereka sendiri. Umpamanya dengan kepentingan negara, dengan para pengusaha perkebunan, penguasaan hutan (HPH), untuk pertambangan atau dengan kelompok transmigran di zaman Orde Baru.

Baca Juga: Ketum Jalur Kilat: Kaesang Pangarep Bukti Buruknya Praktik Partai Politik di Indonesia

Kejadian-kejadian konflik antara masyarakat adat dan kelompok eksternal terjadi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Boleh dikatakan, kejadian konflik peruntukan tanah itu hampir terjadi setiap tahun di banyak tempat di pulau-pulau luar Jawa Barat itu dan selalu kalau konflik itu diajukan ke pengadilan selalu dalam kejadian itu kelompok-kelompok masyarakat adat dikalahkan, karena tidak memiliki sertifikat untuk hak tanah itu. Pastilah selalu negara yang menang, karena dengan mudahnya negara akan mengklaim tanah tanpa sertifikat. Masyarakat adat tidak akan punya surat-surat tanah itu sedikit pun, tidak akan bisa mengklaim bahwa tanah itu adalah milik mereka. Pada zaman Orde Baru itu, tidak ada surat hak kepemilikan tanah untuk masyarakat adat yang diberikan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat