kievskiy.org

Hilangnya Mahkota Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi.
Gedung Mahkamah Konstitusi. /Pikiran Rakyat/Asep Bidin Rosidin

 

PIKIRAN RAKYAT - Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia baru saja diberhentikan melalui Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), akibat terbukti melakukan pelanggaran etik berat berupa pelanggaran terhadap prinsip ketidakberpihakan, integritas, kecakapan, kesetaraan, independensi, serta prinsip kepantasan dan kesopanan. 

Seluruh pelanggaran etik berat tersebut, dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman demi menggelar karpet merah untuk keponakannya Gibran Rakabuming Raka agar dapat melenggang sebagai calon Wakil Presiden di Pemilu yang akan datang. 

Namun, sanksi yang diberikan oleh MKMK ini sejatinya bertentangan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang mengatur sanksi pelanggaran berat etik adalah berupa pemberhentian tidak hormat sebagai Hakim Konstitusi.

Inkoherensi

Putusan MKMK yang dibacakan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa Hakim Konstitusi Anwar Usman secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran etik berat akibat turut serta mengadili perkara yang jelas-jelas memiliki konflik kepentingan terhadap dirinya.

Baca Juga: Strategi Main Aman MKMK untuk Membersihkan Nama Baik Mahkamah Konstitusi

Pelanggaran ini, jelas-jelas merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi, bukan pelanggaran yang dilakukan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Penting pula untuk dicatat, bahwa kedudukan Ketua Mahkamah Konstitusi di dalam struktur kelembagaan Mahkamah Konstitusi, hanyalah sebagai primus inter parest yang kewenangan-kewenangannya hanya berkaitan dengan fungsi administratif Mahkamah Konstitusi.

Sehingga, pada saat Hakim Anwar Usman turut memeriksa dan mengadili perkara, maka dirinya sedang melaksanakan fungsi-fungsi sebagai seorang hakim, dan bukan fungsi sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.

Putusan MKMK yang tidak memberhentikan Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi, sejatinya telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Di dalam Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bahwa satu-satunya sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Hakim Konstitusi melakukan pelanggaran etik berat adalah pemberhentian dari jabatannya secara tidak hormat. 

Baca Juga: Pernyataan Sikap Forum Pemred PRMN terhadap Situasi di Palestina: Kami Menyebutnya Penjajah dan Genosida

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat