kievskiy.org

Epistem Politik dan Hukum, Serta Perlunya Revolusi Ilmiah

Ilustrasi hukum.
Ilustrasi hukum. /Pixabay/Succo Pixabay/Succo

PIKIRAN RAKYAT - Tajuk Rencana Pikiran Rakyat pada 24 Oktober 2023, mengangkat judul “Tak Butuh Janji Politik yang Mengawang Tanpa Realisasi”. Yang dibutuhkan rakyat, di antaranya komitmen kuat dari calon pemimpin untuk membawa negara ini lebih baik dan maju. Para pasangan capres dan cawapres serta para tim suksesnya seyogyanya mempertontonkan pertandingan politik yang berkualitas, baik pada saat kampanye langsung ke masyarakat maupun lewat saluran-saluran lainnya, termasuk di media sosial. Sungguh menarik perhatian kita semua, dengan melakukan refleksi politik dan hukum pada tataran praksis dan atau epistemologi (keilmuan) dalam bidang politik dan hukum.

Mencermati hasil pelaksanaan pilpres yang sudah lima kali (1999; 2004; 2009; 2014 dan 2019), pada tahun 2024 menjadi keenam. Ternyata, NKRI dari segi praktik politik (kekuasaan) dan penegakkan hukum tidaklah berada dalam situasi dan kondisi baik-baik saja. Praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasan oleh dan atas nama individu (pejabat dan atau partai politik) tampak masif dan signifikan. Sebagai sebuah epistem (pengetahuan), kita cukup memadai dengan banyak informasi dan pengalaman tentang politik dan hukum melalui berbagai referensi dan catatan digital yang teramat mudah diakses. Implementasi politik dan hukum seakan semakin jauh dari epistemologi politik dan hukum. Sehingga diperlukan revolusi ilmiah (scientific revolution).

Epistem Politik dan Hukum

Sejatinya, terdapat koherensi yang sangat kuat dan signifikan antara nalar tentang politik dan hukum dengan kehidupan sehari-hari penyelenggaraan negara. Dalam arti sederhana, urusan politik merupakan proses relasi kuasa dalam konteks mikro dan makro kenegaraan. Untuk tertibnya penyelenggaraan negara, diperlukan hukum positif. Perdebatan panjang para filsuf pengetahuan sejak abad ke-18, antara lain, Plato, Aristoteles dan kawan-kawan sampai para filsuf kritis, antara lain, Karl Marx, Engel, Coser, Immanuel Kant, Hegel, dan lain sebagainya. Semuanya saling kritik dan melengkapi setiap gagasan pentingnya pengetahuan dan atau kebenaran ilmiah berbasis pengalaman, nalar, dan tata nilai dalam kehidupan masyarakat yang memiliki hubungan kuat dengan realitas sosial yang dihadapi. Keberadaan politik dan hukum secara ilmiah memiliki prosedur keilmuan yang sudah teruji.

Baca Juga: Rakyat Tak Butuh Janji Politik yang Mengawang Tanpa Realisasi

Jika saat ini, praktik politik (relasi kuasa) dan hukum mengalami distorsi makna, karena penyalahgunaan wewenang dan atau kekuasaan, tidak lain merupakan produk ciptaan manusia yang dengan sengaja mencari “pembenaran” dan motif yang terselubung di belakang wacana kekuasaan dan atau tertib sosial. Terdapat jurang pemikiran ilmiah dengan implementasinya. Konstruksi relasi kuasa dan hukum sangat dinamis, bahkan sangat bebas diinterpretasi sesuai kepentingan dan kebutuhan, khususnya oleh para pemilik kuasa dan modal sosial/ekonomi secara parsial dan monopolis. Dan, terciptalah “kegilaan sosial” yang mewabah menjadi penyakit sosial. Nalar ilmiah dan nilai-nilai keilmuan tak lagi memadai untuk mencari solusi dari penyakit ini. Menurut Thomas Kuhn, jika teori-teori ilmiah, khususnya ilmu politik dan hukum tak lagi mampu menjawab berbagai fakta dalam masyarakat, terkait dengan relasi kuasa kenegaraan, maka diperlukan revolusi ilmiah. Konsep ilmu pengetahuan yang bebas nilai, independen, dan empiris, tidak akan terlepas dari paradigma, yang sangat erat kaitannya dengan ideologi, relasi kuasa (otoritas), dan fanatisme.

Kini kita menyaksikan berbagai fakta bahwa lembaga politik (negara) dengan multi partai, dengan realitas terjadinya berbagai pelanggaran yang didominasi para politisi, birokrat, serta elite penegak hukum secara sengaja dan sistematis, maka terjadilah anomali yang teramat krusial. Hal ini terjadi karena berbagai teori tentang politik dan hukum, serta dimensi keilmuan lainnya tak lagi mampu menjawab berbagai persoalan mendasar dan utama dalam masyarakat. Bukan hanya masalah yang muncul kasat mata (front stage), tetapi jauh di belakang “layar” (backstage) para aktor dalam relasi kekuasaan yang seringkali teramat sumir dan sulit ditebak. Untuk itu diperlukan satu pemikiran ilmiah yang revolusioner yang dinamis untuk menjawabnya.

Kita terlalu sering dihadapkan pada janji dan kontrak politik para kandidat atau calon pimpinan baik di tingkat nasional maupun daerah, termasuk hadirnya para elite birokrat pada lembaga hukum atau legislatif, sering kali membuat narasi yang sarat dengan intrik dan taktik palsu dan penuh retorika (kebohongan). Ironisnya, media massa atau sosial ikut menguatkan dan meneguhkannya dalam berbagai acaranya.

Dimensi politik dan hukum dalam masyarakat sungguh teramat cair dan dinamis, bahkan berpotensi teramat liar dan ambigu. Bahasa politik dan hukum tak lagi menjadi representasi tunggal dari kebenaran ilmiah. Bahkan, ditegaskan oleh Richard Rorty, tidak ada prinsip-prinsip yang bersifat universal, pemikiran setiap manusia ditentukan oleh bahasa apa yang dipelajari orang tersebut. Bahasa dipahami sebagai perwujudan budaya tertentu, pandangan dunia tertentu, kepercayaan, dan nilai-nilai tertentu. Dengan mencermati pemikiran Rorty, jelas sudah bahwa dimensi politik dan hukum yang saat ini sedang disaksikan bersama sedang mengalami kemunduran yang luar biasa. Negara dengan sub sistem birokrasinya teramat sulit dipahami dengan benar secara ilmiah, kecuali tampilnya sikap dan perilaku para elitenya yang teramat arogan dan sentralistik. Mereka melakukan “pembenaran’ melalui akal “bulus” yang sangat masif dan manipulatif. Kepalsuan dan pembohongan publik menjadi “gaya” dan atau budaya politik para elite, sekaligus menyiasati aturan hukum versi kepentingannya. Sungguh, negeri yang penuh drama sosial yang tak lagi elok dan nyaman disaksikan. (Suwandi Sumartias - Guru Besar Komunikasi Politik dan Perburuhan Fikom Unpad)

Disclaimer: Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat