kievskiy.org

Masa Kampanye Belum Dimulai, Hoaks Pemilu 2024 Sudah Marak

Ilustrasi upaya menghentikan hoaks jelang pemilu.
Ilustrasi upaya menghentikan hoaks jelang pemilu. /Antara/Oky Lukmansyah

PIKIRAN RAKYAT - Masa kampanye Pemilu 2024 belum dimulai, tetapi suhu politik di tanah air sudah menghangat. Televisi berita siarannya hampir tersita oleh pemberitaan tiga pasangan capres dan cawapres. Media sosial pun makin marak dengan informasi pemilu ini, bahkan hoaks (berita palsu) hampir setiap saat bermunculan.

Pemilu kali ini agak beda dengan Pemilu 2019. Pemilu lalu, Jokowi tampil sebagai petahana, maju untuk periode kedua melawan pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno. Pemilih cenderung memilih petahana. Namun kali ini, muncul tiga calon yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri sehingga hasil survei yang muncul di antara ketiganya angkanya tidak terlalu jauh.

Pasangan AMIN memperoleh dukungan yang lumayan kuat dari massa Islam. Selain citra Anies yang sangat islami, juga ada sosok Muhaimin sebagai pimpinan partai kaum Nahdliyin yakni PKB. Pasangan Ganjar Pranowo–Mahfud MD juga memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan karena didukung oleh PDIP sebagai pemenang pemilu yang dikenal di sejumlah daerah memiliki mesin politik yang cukup kuat sampai tingkat bawah, serta pasangan politisi senior Prabowo yang tanpa diduga menjadikan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dijadikan calon pendampingnya.

Baca Juga: Tamansari Lautan Api, Pembakaran Rumah dan Watak Kolonialisme

Tiga pasangan ini masing-masing memiliki karakteristik yang unik sehingga agak sulit siapakah yang bakal muncul sebagai pemenang. Maka dari itu, suhu politik yang sudah mulai menghangat boleh jadi bakal cepat memanas. Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya dan juga pemilu-pemilu dari negeri seberang, kampanye pada era digital ini bakal lebih kompleks seiring dengan keberadaan media sosial yang setiap hari diakses oleh ratusan juta penggunanya hingga ke pedesaan. Masa kampanye memang belum dimulai, tetapi konten media sosial bernada kampanye sudah mulai menyebar.

Fenomena yang muncul dalam pemilu dimana pun adalah kampanye hitam (black campaign) yang menyudutkan pasangan lain. Masih mendingan kampanye negatif (negative campaign) yang biasanya hanya mengekspose kelemahan konsep pihak lawan, kampanye hitam ini cenderung ke penyebaran berita bohong (dalam konteks jurnalistik dikenal sebagai fake-news, dan dalam konteks media sosial akrab dengan istilah hoaks) dan fitnah. Fenomena ini kini sudah mulai terasa pada media sosial.

Selain itu, fanatisme terhadap calon tertentu juga kian menebal, bahkan sudah mulai terlihat agak memanas pada sejumlah grup medsos oleh para loyalisnya. Mereka begitu militan dalam mengkampanyekan calonnya dengan mengunggah aneka info tentang kelemahan dan keburukan dari calon lain yang sering kali unggahan itu adalah berita fake-news.

Baca Juga: Tragedi Kemanusiaan Gaza di Luar Nalar

Media sosial dari sisi komunikasi memiliki dampak yang luar biasa dibanding media massa, tidak sedikit orang yang sangat meyakini akan kebenaran sebuah informasi, padahal sesungguhnya itu adalah berita bohong. Kondisi seperti ini bukan hanya terjadi di negara kita yang literasi medianya terbilang rendah, di negara maju seperti di AS pun warganya gampang tertipu oleh gempuran hoaks. Emmanuele (2022) yang melakukan riset tentang fake-news di sejumlah negara, menemukan bahwa masyarakat terpecah dalam membedakan antara true-news dari fake-news. Akibatnya terjadi perpecahan dalam nilai-nilai sosial. Fake-news di media sosial telah membodohi dan menghancurkan tatanan pada masyarakat.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat