kievskiy.org

Tamansari Lautan Api, Pembakaran Rumah dan Watak Kolonialisme

Ilustrasi kebakaran rumah.
Ilustrasi kebakaran rumah. /Pexels/Skylar Kang

PIKIRAN RAKYAT - Pada 18 Oktober 2023, Eva Eryani (53) membakar rumahnya sendiri. Rumah yang dibangunnya sendiri pascarumah sebelumnya digusur pada 19 Desember 2019. Ini kedua kalinya terjadi pembakaran rumah di Tamansari. Pertama kali dilakukan aparat ketika terjadi penggusuran paksa 2019 yang disertai penembakan gas air mata ke dalam rumah, dan kali kedua ini dibakar oleh warganya sendiri. Pembakaran ini terjadi beberapa hari setelah Bandung merayakan ulang tahunnya yang ke-213 sejak didirikan oleh kolonial, dan sebagai penanda akhir peristiwa dari 7 tahun kisah perjuangan warga Tamansari dalam mempertahankan rumah dan tanah mereka, mengingatkan pada peristiwa Bandung Lautan Api 1946 ketika warga Bandung membakar rumah karena tidak mau dirampas kolonial. Eva memilih membakar rumahnya daripada dihancurkan Satpol PP dan jatuh ke tangan Pemkot yang menampilkan watak kolonial.

Apa yang sebenarnya terjadi di Tamansari ini? Semula berawal dari proyek pembangunan Rumah Deret–Rudet yang diinisiasi oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (2013-2018) dengan melibatkan Yu Sing sebagai sesama arsitek yang sebelumnya dikenal sebagai arsitek berbasis pada komunitas dan berwawasan ekologis. Polemik konflik Rudet ini dimulai tahun 2017 melibatkan 197 KK, yang diawali ketika warga kampung Tamansari RW 11 mendapatkan undangan buka puasa bersama di Pendopo rumah dinas Wali Kota Bandung. Warga antusias, ini pertama kalinya diundang pemerintah. Namun, kehadiran mereka dianggap menyetujui proyek tersebut.

Proyek ini menggunakan alas dasar surat tanah era kolonial tahun 1930-an yang seharusnya tidak berlaku lagi sejak Indonesia merdeka dari kolonialisme. Kemudian, diperkuat oleh UU Pokok Agraria No.5/1960 serta Kepres No.32/1979 di mana keduanya mengatur tenggat waktu konversi tanah kolonial dengan batas pendaftaran tahun 1980. Ajaibnya untuk RW 11 Tamansari, Pemkot Bandung baru melakukan pendaftaran tanah konversi yang kemudian diklaim sebagai aset berdasarkan SHP No.00023/2020 termasuk Perda yang terbit 31 Desember 2019, tetapi rumah warga sudah digusur 19 Desember 2019. Selain itu, ketika dilakukan pengecekan status tanah melalui aplikasi BPN-Sentuh Tanahku, hasilnya “Data Persil Tidak Ditemukan”. Jadi, SHP dan klaim aset Pemkot itu di lahan yang mana?

Baca Juga: Tragedi Kemanusiaan Gaza di Luar Nalar

Pemkot tidak mengindahkan rekomendasi Komnas HAM, Ombudsman, dan Komisi C DPRD kota untuk menghentikan proyek dan menghormati proses hukum pengadilan yang sedang berlangsung. Selain itu, Pemkot tidak menunjukan tata kelola pemerintahan yang tertib administrasi, taat regulasi dan transparansi terkait desain, anggaran, peruntukan, serta kebijakan yang mendasari pembangunan Rudet ini. Soalnya, ini tidak termaktub dalam RTRW Bandung 2011–31 dan RPJMD 2013–18, walau tidak secara langsung ada dalam RDTR 2015–35.

Proses pengadilan terkait gugatan izin lingkungan di PTUN telah selesai dan warga kalah. Akan tetapi, warga tidak pernah diberikan hasil putusan yang terbit pada 2020. Justru warga sudah digusur tahun 2019 dan masalah status lahan tidak pernah clear and clean hingga terjadi pembakaran tersebut. Tahun 2022, Ombudsman menyatakan penggusuran 2019 sebagai “maladministrasi”, tapi rumah warga kadung rata dengan tanah dan Rudet yang vertikal itu kadung berdiri.

Dasar Pemkot mengeluarkan IMB sebagai upaya pembongkaran rumah warga RW 11 ini juga cacat hukum. Pasalnya, ini tidak memenuhi ketentuan pasal 9 Permendagri No.32/2010 tentang pedoman pemberian IMB yang harus memiliki tanda bukti kepemilikan hak atas tanah serta surat pernyataan tidak sedang sengketa. Selain itu, Pemkot melakukan upaya pemblokiran warga melakukan pendaftaran lahan, padahal itu bukan kewenangannya.

Baca Juga: Menggugat Veto Amerika Serikat dalam Konflik Israel-Palestina

Warga terpecah, sebagian menerima proyek dengan kompensasi uang 26 juta/tahun untuk kontrakan sejak rumah mereka dihancurkan pada tahun 2018. Sebagian lagi bertahan menunggu proses gugatan pengadilan terhadap SK DPKP3 sudah dilakukan sejak 2017 hingga akhirnya digusur pada 2019. Sekitar tahun 2020, puluhan keluarga yang menolak akhirnya menyerah dan mendapat kompensasi uang untuk mengontrak dan uang kerohiman yang jumlahnya bervariasi berdasarkan bentuk dan luasan rumah yang digusur, tetapi tidak mendapatkan unit Rudet. Jika dihitung, warga tetap saja rugi. Pasalnya, uang kerohiman hanya dilihat dari NJOP berdasarkan PBB yang dibayar selama ini dan perhitungan appraisal terkait bangunan yang sepihak oleh Pemkot.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat