kievskiy.org

Presiden RI: Nasionalis, Satria, dan Religius 

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Pikiran Rakyat/Waitmonk

PIKIRAN RAKYAT - Sejak seabad yang lalu, tepatnya tahun 1920-an, Soekarno Muda (lahir 1901) sudah menganalisis dan memprediksi bahwa kekuatan sosial-politik di Indonesia terbagi kedalam tiga arus utama: Nasionalis, Agama (Islam), dan Komunis/Sosialis. Lanskap sosial-politik Indonesia sejak itu, hingga tahun 1960-an, didominasi oleh tokoh-tokoh pemimpin yang mewakili tiga kekuatan arus utama tersebut.

Sejak Indonesia Merdeka pada 1945, golongan Nasionalis yang diwakili oleh Soekarno dan Mohammad Hatta (lahir 1902) mendominasi jagat politik Indonesia. Revolusi Indonesia yang ingin dibelokkan jalannya ke “Kiri” (Komunisme/Sosialisme), di bawah pimpinan Musso (lahir 1897) dan Amir Syarifuddin (lahir 1907), mengalami kegagalan dalam peristiwa Madiun 1948. 

Begitu juga jalan “Kanan” (Negara Islam), yang coba ditempuh oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo (lahir 1905), harus berakhir tragis dengan dihukum mati tokoh pendiri DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) itu pada 1962. Pemimpin Indonesia, khususnya Presiden, sejak 1945-1968, didominasi oleh golongan Nasionalis yang menghendaki “jalan tengah” dalam merealisasikan cita-cita kemerdekaan.

Walaupun begitu, pemimpin Indonesia lainnya (selain Presiden) didominasi oleh tiga arus utama kekuatan politik di Indonesia. Golongan Kiri (Sosialis/Komunis) berjaya menjadi PM (Perdana Menteri) Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh Sutan Syahrir (lahir 1909) dan Amir Syarifuddin, misalnya, pada masa revolusi Indonesia.

Baca Juga: Rakyat Tak Butuh Janji Politik yang Mengawang Tanpa Realisasi

Golongan Kanan (Islam) berhasil juga menjadi PM pada pascarevolusi Indonesia, tahun 1950-an, sebagaimana ditunjukkan oleh Mohammad Natsir (lahir 1908), Sukiman Wiryosanjoyo (lahir 1898), dan Burhanuddin Harahap (lahir 1917). Karena itu, tepat sekali bila Presiden Soekarno pada tahun 1960-an menggagas ideologi NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) untuk menggambarkan tiga kekuatan dalam arus utama sosial-politik di Indonesia.

Golongan Satria

Hancurnya kekuatan Komunisme usai peristiwa G-30-S (Gerakan 30 September) 1965 telah melahirkan kekuatan baru dalam jagat politik Indonesia, yakni TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat). Ideologi NASAKOM pun harus berakhir, beserta penggagasnya, yakni Presiden Soekarno sendiri pada 1968, dan diganti dengan NASABRI (Nasionalis, Agama, ABRI).

ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) didirikan pada 5 Oktober 1945, di tengah-tengah gejolak sosial-politik zaman revolusi Indonesia. Wajar bila analisis dan prediksi Soekarno Muda, pada 1920-an, tidak memperhitungkan kekuatan TNI-AD yang sering dilabeli sebagai golongan “Satria” ini.

Baca Juga: Gerak Cepat Memberantas Mafia Bola

Bahwa TNI-AD sudah melibatkan diri dalam masalah-masalah non-pertahanan sejak awal kelahirannya, nampak dalam perilaku politik Jenderal Sudirman (lahir 1916) dan/atau gagasan politik “jalan tengah” atau “dwi fungsi” dari Jenderal Abdul Haris Nasution (lahir 1918) pada masa revolusi dan/atau pasca revolusi Indonesia. The founding fathers TNI-AD itu kerap menggambarkan diri mereka sebagai seorang Satria.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat