kievskiy.org

Negara Lalai Menjaga Konten Budaya

Ilustrasi bendera merah putih.
Ilustrasi bendera merah putih. /Pixabay/Teguh Setiawan

PIKIRAN RAKYAT - Saat ini konten kebudayaan memang banyak tetapi yang menyampaikan perspektif negara bisa dikatakan minim. Dahulu negara memiliki kanal-kanal informasi maupun hiburan yang memuat perspektif negara. Ada PFN tentang film, ada Lokananta perusahaan rekaman yang selalu membuat kebudayaan Indonesia, sekarang sudah tidak ada lagi.

Pernyataan di atas dikemukakan Staf Khusus Kemendikbudristek Alex Sihar yang mengajak zilenial kreatif untuk membanjiri konten-konten media dengan konten kebudayaan. Atas ajakan tersebut kita ingin bertanya, mengapa PFN, Lokananta dan Balai Pustaka setelah lama dibiarkan terbengkalai kemudian ditutup oleh pemerintah?

Sudah lama masyarakat mempertanyakan, apakah pemerintah menganggap penting kebudayaan? Pertanyaan itu muncul karena dalam berbagai kebijakannya pemerintah sangat terkesan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada masalah-masalah budaya. Kebijakan pemerintah yang seperti itu berbeda dengan era sebelumnya.

Sejak masa-masa awal kemerdekaan sampai periode awal dasawarsa 1960-an, perhatian pemerintah terhadap budaya sangat jelas dan produksinya dapat dinikmati masyarakat luas. Film-film produksi PFN disebarkan ke seluruh pelosok. Rekaman musik Lokananta memperkaya apresiasi masyarakat terhadap khazanah musik Indonesia yang sangat kaya, yang tradisional maupun yang modern. Sementara buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka menjadi bacaan pertama sejak di tingkat sekolah dasar.

Baca Juga: Hak Imunitas Advokat Tangani Perkara

Era pembangunan kemudian menempuh arah yang berbeda. PFN, Lokananta dan Balai Pustaka yang saat itu berstatus sebagai perusahaan negara, secara sistematis ditelantarkan. Koleksinya yang sangat kaya pun dibiarkan tidak terurus, berceceran ke mana-mana. Masyarakat merasa, urusan kebudayaan sepenuhnya diserahkan kepada pasar di mana perhitungan laba rugi menjadi pertimbangan utama.

Sekarang, pejabat negara sekelas Alex Sihar terkesan menyesalinya, sementara lubang yang ditinggalkannya sudah demikian dalam. Alex Sihar tampaknya khilaf bahwa persoalan budaya bukanlah sesuatu yang cukup diproses secara instan. Membanjiri media dengan konten kebudayaan bisa dibaca sebatas slogan. Konsistensinya layak diragukan.

Bahwa khazanah budaya itu memiliki peran yang sangat penting telah dibuktikan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak lama. Belanda datang ke Indonesia bukan semata hendak menanam rempah serta mendapatkan keuntungan darinya. Mereka juga menyebar berbagai ahli untuk mencari, mengumpulkan berbagai artefak, dari mana kemudian sebagai pemerintahan kolonial mereka menentukan arah terhadap berbagai kebijakannya.

Baca Juga: Pengelolaan Pesantren Tidak Bisa Dilakukan dengan Mengedepankan dan Memanjakan Egoisme Kelompok

Lebih dari itu, berbagai jenis artefak yang oleh bangsa kita sendiri dianggap tidak memiliki nilai, diangkut ke negaranya dan dikaji secara sungguh-sungguh. Mereka juga tak segan mengeluarkan biaya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat