kievskiy.org

Konstruksi Makna Dewi Sartika di Ruang Publik

Patung dan Monumen Raden Dewi Sartika di Taman Dewi Sartika Balai Kota Bandung.
Patung dan Monumen Raden Dewi Sartika di Taman Dewi Sartika Balai Kota Bandung. /Portal Bandung Timur/Heriyanto

PIKIRAN RAKYAT - "Mun jadi awewe kudu miboga keterampilan, kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup" (kalau jadi perempuan harus punya keterampilan, harus segala bisa, agar bisa hidup). Demikian pesan pahlawan nasional ibu Dewi Sartika (DS), seorang perempuan Sunda yang hidup di jaman penjajahan Belanda tetapi memiliki visi yang jauh menembus ruang dan waktu hingga atikannya tetap relevan hingga sekarang.

Sejarah mencatat, kontribusi kongkrit Dewi Sartika bagi peradaban perempuan Indonesia tidak terbantahkan, sejak beliau mendirikan Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda pada 16 Januari 1904, kemudian bermunculanlah beberapa Sakola Istri, hingga mencapai 9 buah pada tahun 1912 di tanah Pasundan.

Sakola Istri yang kemudian berubah namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan) pada 1914, pada 1920 di tiap kota/kabupaten seluruh wilayah Pasundan telah memiliki Sakola Kautamaan Istri ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanan. Bahkan, berkat keberhasilannya mendirikan sekolah bagi kaum perempuan, DS memperoleh bintang jasa di tahun ke-25 berdirinya Sakola Istri dari pemerintahan Hindia Belanda. Dan Sakola Kautamaan Istri kemudian berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi pada bulan September 1929.

Sejak kemangkatannya, setiap 20 Desember, hari kelahiran DS, hampir selalu dijadikan event peringatan, terutama di sekolah-sekolah atau oleh komunitas-komunitas perempuan di Jawa Barat. Rata-rata acara peringatan hari ulang tahun ini berisi pidato refleksi atas atikan (ajaran) DS, kiriman doa dan pagelaran kesenian sunda atau bazar makanan dan barang-barang kerajinan khas perempuan.

Model peringatan hari DS seperi ini tidaklah salah, bahkan bagus tidak saja untuk merawat memory sejarah bahwa pernah ada perempuan Sunda hebat yang memikirkan dan memperjuangkan hak perempuan dengan tindakan nyata dalam bidang pendidikan.

Namun demikian, dalam konteks kekinian, model peringatan hari DS seperti ini nampaknya mulai perlu dikembangkan lagi, dengan mengambil model yang tidak sekedar kegiatan peringatan biasa, tetapi lebih jauh mulai menyasar pada upaya membangun opini publik tentang pentingnya meningkatkan kualitas perempuan.

Mengapa membangun opini publik menjadi penting? Karena dengan opini publik maka akan terbentuk kesadaran kolektif atas persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan saat ini. Dengan adanya kesadaran kolektif, maka masyarakat akan secara terus menerus mendiskusikan dan mewacanakan berbagai masalah perempuan di ruang publik sehingga kemudian diharapkan para pembuat kebijakan akan menjadikan persoalan perempuan sebagai leading sector yang diprioritaskan dalam program pembangunan.

Setidaknya begitulah jalan yang dibukakan oleh para teoritisi komunikasi, terutama komunikasi publik, bahwa untuk membuat sebuah isu sosial dapat berubah menjadi isu politik, maka diperlukan media yang menjadi katalisator, dan itu adalah pembentukan opini publik.

Mengacu pada Habermas (2006) yang menekankan pentingnya public sphere (ruang publik) sebagai pembentuk opini publik, maka membangun opini publik tentang perempuan, jika merujuk pada Lippman (1922) dapat diawali dengan noise atau kebisingan/keriuhan di ruang publik atas isu-isu yang relevan, misalnya isu kesehatan reproduksi, kesehatan mental, kekerasan dalam rumah tangga, penghilangan stigma atas potensi perempuan, perempuan sebagai kepala keluarga, pekerja migran perempuan, posisi perempuan dalam isu lingkungan bahkan sampai pada peran perempuan dalam politik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat