kievskiy.org

Kawal Suara Rakyat dari Potensi Manipulasi Pemilu, Lapor jika Temukan Kecurangan

Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) 18 di Dusun Citeureup, RW 10 Desa Cilayung, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang sedang memasukkan suarat suara Pemilu 2024 ke kotak suara pada hari pencoblosan 14 Februari 2024.
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) 18 di Dusun Citeureup, RW 10 Desa Cilayung, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang sedang memasukkan suarat suara Pemilu 2024 ke kotak suara pada hari pencoblosan 14 Februari 2024. /Pikiran Rakyat/Abdul Muhaemin

PIKIRAN RAKYAT - Tanggal 14 Februari 2024 menjadi muara dari tahapan Pemilu Serentak 2024. Pada hari tersebut, ekspresi kedaulatan warga akan diimplementasikan melalui pilihan terhadap pasangan calon presiden, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun demikian, terdapat tantangan terhadap upaya perwujudan kedaulatan warga tersebut. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah potensi terjadinya manipulasi pemilu sebelum, pada saat, dan setelah warga menggunakan hak politiknya untuk memilih.

Praktik manipulasi pemilu yang lazim dilakukan dapat berupa manipulasi terhadap pemilih (Birch, 2011). Manipulasi terhadap pemilih terjadi melalui berbagai praktik ilegal yang menyebabkan warga tidak menggunakan hak politiknya berdasarkan aspirasi, keinginan atau kepentingan yang sebenarnya. Sebagai contoh, walaupun telah memasuki masa tenang pada tanggal 11 sampai 13 Februari 2024 di mana semua kandidat dan partai politik dilarang melakukan kampanye secara formal, terjadi praktik-praktik mempengaruhi warga melalui berbagai informasi yang bias, tidak valid, bahkan cenderung menipu yang tidak didasarkan pada fakta dan disebarkan melalui berbagai saluran media.

Selain itu terdapat potensi terjadinya pendistribusian ganjaran atau hadiah baik berupa uang atau materi lainnya seperti paket sembako kepada warga sebelum pemilihan. Praktik ini dilakukan dalam rangka mengubah perilaku elektoral dari warga sebagai pertukaran dari ganjaran atau hadiah yang telah diberikan.

Terdapat pula potensi praktik penggunaan sumber daya atau instrumen negara untuk mempengaruhi pilihan warga. Penggunaan sumber daya dapat dilakukan melalui praktik-praktik pemberian bantuan yang berasal dari anggaran negara dan didistribusikan oleh institusi-institusi pemerintah namun digunakan untuk kepentingan atau keuntungan kandidat atau partai politik tertentu. Penggunaan instrumen negara dapat dilakukan mulai melalui bentuk persuasi atau bujukan, sampai dengan intimidasi bahkan ancaman kekerasan oleh aparatur negara di berbagai tingkatan.

Selain potensi manipulasi terhadap pemilih pada masa tenang, praktik manipulasi dapat berlanjut pada saat warga mengekspresikan pilihannya pada saat pencoblosan di TPS. Manipulasi dapat terjadi dengan tekanan melalui bujukan dari tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkungan warga, praktik pembelian suara, dan/atau intimidasi atau ancaman kekerasan yang dilakukan sesaat sebelum warga melakukan pencoblosan. Dalam praktik ini, lazimnya warga diminta membuktikan pilihannya dengan pemberian tanda tertentu atau pola tertentu dalam kartu suara, atau memotret surat suara yang telah dicoblos.

Setelah warga menggunakan hak pilihnya, terdapat pula potensi praktik manipulasi pemilu berupa manipulasi terhadap suara (Birch, 2011). Terdapat beberapa praktik yang berpotensi dilakukan, antara lain adalah dengan memberikan surat suara kepada orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki hak pilih atau memberikan peluang kepada orang tertentu untuk melakukan pencoblosan lebih dari satu kali. Selain itu, dapat pula dilakukan praktik penggelembungan atau penggembosan suara sejak pada saat penghitungan di TPS maupun dalam proses rekapitulasi di tingkat PPK (kecamatan), KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan sebelum penetapan rekapitulasi di KPU RI.

Antisipasi Manipulasi Pemilu

Bagaimanakah warga mengantisipasi dan mencegah manipulasi pemilu sebagaimana tergambarkan di atas? Pertama, diperlukan adanya kesadaran warga untuk menggunakan kedaulatannya sebagai pemilih secara penuh, dengan tidak terpengaruh dengan berbagai bentuk manipulasi. Warga harus kritis dalam menyaring berbagai informasi yang beredar dan tidak mudah mempercayai berita yang didapatkan. Salah satu cara adalah dengan mengonfirmasi informasi yang didapatkan melalui berbagai sumber lain yang lebih valid, misalnya dengan mengkonfirmasi pada media atau orang-orang yang mempunyai kredibilitas. Warga juga seharusnya menolak praktik-praktik politik uang, dengan tidak menerima pemberian yang dimaksudkan untuk dipertukarkan dengan pilihannya di bilik suara. Warga seharusnya tidak pula khawatir dengan bujukan, intimidasi atau ancaman kekerasan dari kelompok-kelompok tertentu karena kebebasan warga untuk memilih dijamin oleh peraturan negara.

Kedua, warga harus berinisiatif dan bersikap proaktif apabila menemukan praktik-praktik manipulasi karena berbagai praktik manipulasi pemilu merupakan pelanggaran bahkan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Kesadaran dan keberanian warga untuk menolak dan melaporkan berbagai praktik manipulasi akan menekan hasrat dan niat dari kelompok-kelompok tertentu untuk mempengaruhi pilihan warga melalui cara-cara yang ilegal. Selain melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang secara formal menjalankan fungsi pengawasan pemilu, warga dapat menggunakan berbagai saluran atau platform yang diinisiasi oleh masyarakat sipil untuk mengawal penyelenggaraan pemilu.

Ketiga, warga harus memiliki keyakinan bahwa pilihannya di bilik suara bersifat rahasia. Kerahasiaan ini dijamin oleh peraturan pemilu. Tidak ada fihak-fihak lain yang dapat mengetahui pilihan warga. Sebaliknya warga sebaiknya tidak memberikan informasi kepada pihak mana pun tentang pilihannya di bilik suara.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat