kievskiy.org

Mengkritik Pilkada dalam RUU DKJ, Sejumlah Konsekuensi Bisa Muncul

Potret Monumen Nasional (Monas), DKI Jakarta.
Potret Monumen Nasional (Monas), DKI Jakarta. /Pexels/Tom Fisk

PIKIRAN RAKYAT - Sejak wacana pemindahan ibu kota bergulir, hingga ditetapkannya “Nusantara” sebagai Ibu Kota Negara  baru melalui pengesahan Undang-Undang No.3 Tahun 2022 lalu, kedudukan DKI Jakarta sebagai ibu kota otomatis harus tergantikan. Kini, ‘kekhususan” yang dimiliki Jakarta tengah bergeser sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global. 

Dalam rangka menyesuaikan dinamika dan kebutuhan hukum tersebut, Pemerintah dan DPR tengah merevisi Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 sebagai payung hukum kota Jakarta saat ini. Namun, regulasi yang disiapkan untuk menyesuaikan kebutuhan hukum tersebut rasanya tidak sejalan dengan kebutuhan negara demokrasi dan masyarakat saat ini. 

Hal tersebut tecermin dari pengaturan Pasal 10 ayat (2) RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang mengatur bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ akan ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden dengan memperhatikan usul DPRD. 

Pengaturan dalam pasal tersebut tengah menimbulkan penolakan besar. Tak hanya dari masyarakat, bahkan tujuh dari sembilan fraksi di DPR pun turut mengecam keberadaan pasal tersebut. Celakanya, RUU tersebut direncakan akan segera disahkan pada Maret mendatang.

Baca Juga: Politik Kekuasaan dalam Pendidikan: Problem Domestifikasi dan Stupidikasi

Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 pun menjadi dalih dilakukanya pemilihan Gubernur sebagai kepala daerah Provinsi DKJ melalui penunjukan langsung oleh Presiden. Benar, tidak ada satu pasal pun dalam konstitusi kita saat ini yang mengharuskan Pilkada dilakukan melalui pemilihan secara langsung. Adapun Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 hanya mengatur bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis. 

Jika merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No.072-073/PUU-II/2004 serta putusan No. 97/PUU-XI/2013, makna “demokratis” tidak selalu merujuk pada pemilihan langsung. 

Hal ini tidak terlepas pula dari ketentuan Pasal 18B UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Artinya, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan memiliki kebebasan untuk menentukan mekanisme pemilihan kepala daerahnya, dan hal ini tetap dianggap sebagai cara yang demokratis. Pasal tersebut pun terimplementasi pada pemilihan kepala daerah di Yogyakarta yang dilakukan melalui pengukuhan. 

Baca Juga: Sangat Sulit Membayangkan Akan Seperti Apa Masa Depan Bangsa Palestina

Sementara Jakarta, meski dinobatkan sebagai daerah yang memiliki kekhususan, tetapi kekhususan tersebut tidak memberi keleluasaan pada Presiden untuk menunjuk Gubernur DKJ secara langsung.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat