kievskiy.org

Memahami Esensi Kurban, Keikhlasan dan Kepedulian Sosial dalam Praktik Ibadah

Ilustrasi hewan kurban.
Ilustrasi hewan kurban. /Pixabay/reetdachfan

PIKIRAN RAKYAT - Tak dapat disangkal bahwa kurban harus membawa kegembiraan kepada sesama yang kurang mampu, sejalan dengan tugas yang diemban umat Islam yang mampu melaksanakannya. Fakir miskin tentunya menjadi target pembagian dagingnya, selain pihak yang melaksanakan ibadah kurban.

Tidak heran sejumlah RW atau DKM memasang tawaran dan mengajak berkurban kepada muslimin di sekitarnya. Bahkan, banyak yang menawarkan kesempatan tersebut melalui media sosial. Hal seperti itu menjadi momentum untuk berbagi dengan sesamanya agar mendapat balasan Allah SWT.

Kebanggaan sejumlah pihak sering kali terpancar tatkala mampu menghimpun muslimin yang berkurban. Kesibukan pun menjadi warna di setiap panitianya. Tidak sedikit yang keteteran ruang yang diperlukan untuk mengurus hewan kurban yang akan disembelih. Bahkan seringkali panitia disibukkan dengan rombongan pencari daging kurban dari suklak-siklukna (daerah masing-masing). Kadang sejumlah pihak ngabring (datang bersama-sama) mendatangi penyelenggara kurban.

Toja’iah

Kehadiran pencari daging kurban kadang tidak dapat dikontrol panitia. Cerita kehilangan bagian hewan kurban pun sering terdengar mengingat momentum tersebut bisa dimanfaatkan oleh sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tak sedikit yang melakukan penekanan untuk menerima japrem (jatah preman) daging kurban. Jika ditambah ada oknum panitia yang juga memiliki keinginan yang sama, persoalan bisa semakin kusut.

Persoalan di atas agaknya masih dapat ditemukan dalam sejumlah praktik penyelenggaraan pembagian daging kurban. Ada nilai yang ditegaskan dalam agama yang bertubrukan dengan kebutuhan yang melekat dalam sejumlah pribadi. Tatkala praktiknya menjadi keliru, maka hal demikian menunjukkan nilai menjadi kemasan untuk memenuhi kebutuhan seperti Dananjaya (1986) tuliskan.

Boleh jadi hal di atas berangkat dari kebutuhan lingkungan yang membisiki pribadi seseorang untuk berbuat ngacapruk (tidak benar) Lingkungan tersebut dapat memengaruhi keputusan yang dilakukan seseorang sehingga bisa keluar dari panduan nilai yang dipatuhinya seperti Kast (1981) tuliskan. Dampaknya, orang pun akan melabelinya sebagai figur yang toja’iah antara ucap dan lampah.

Tatkala ketoja’iahan dibiarkan, maka hal tersebut akan berlanjut berkepanjangan karena tidak ada kontrol atas perilaku tersebut seperti Watson (1997) tuliskan. Demikian halnya, tatkala digertak dan 'diasingkan', maka figur seperti itu akan merasa dipermalukan dan pundung. Untuk itu, ki Sunda mengajarkan laukna beunang, caina herang (berhasil apa yang diinginkan tanpa menimbulkan akibat buruk bagi orang lain). Rotasi dalam kegiatan serupa untuk meminimalisasikan penyimpangan menjadi perlu dengan pendampingan agar stimulus berbuat toja’iah mengendur.

Pembinaan yang bijak untuk memperbaiki sikap dan perilaku pengelola kurban menjadi penting sebagai bagian dari pengamalan praktiknya yang konsisten. Hal seperti itu dikembangkan dalam komunikasi seperti pendapat Edwards (1980). Dengan demikian, figur yang masih leumpeuh yuni alias gampang tergoda, akan tegar dari bisikan sesat lingkungan dan tidak digeuhgeuykeun alias dicibir umat. Bahkan, kemampuan memberikan warna positif kepada lingkungan akan semakin baik.

Membaiknya kemampuan di atas bisa digiringkan agar para peserta kurban menyadari bahwa kurban bukan sekadar prestise diri yang disebut namanya melalui speaker masjid, namun keikhlasan seperti Nabi lsmail AS. Bila sudah demikian, RW atau DKM yang titipan hewan kurbannya banyak tidak diurus sendiri, tetapi dapat mendistribusikan ke DKM atau RW yang tidak memiliki peserta kurban agar melatih mengelola kurban serta melatih kejujuran dan kesabaran. Distribusi seperti itu dapat mengurangi abringan (rombongan) pencari hewan kurban yang berasal dari kantong wilayah yang kurang beruntung.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat