kievskiy.org

Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Pemerintah Dinilai Tak Transparan

RATUSAN buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law di Jakarta, Senin, 20 Januari 2020. Dalam aksinya mereka menolak omnibus law yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan investor serta merugikan pekerja di Indonesia.*
RATUSAN buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law di Jakarta, Senin, 20 Januari 2020. Dalam aksinya mereka menolak omnibus law yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan investor serta merugikan pekerja di Indonesia.* /Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO

PIKIRAN RAKYAT - Wacana pemerintah untuk mewujudkan Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja masih menjadi polemik terutama di publik. Kalangan buruh menjadi satu kelompok yang cukup vokal menyuarakan ketidak setujuannya. Salah satu upaya mereka di antaranya menggelar aksi seperti yang dilakukan di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu 12 Februari 2020.

Sekjen DPP KEP SPSI, Subiyanto misalnya mengungkapkan, pemerintah selama ini seolah tidak transparan dalam pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Buruh dan perwakilannya, katanya, tidak diikutsertakan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja.

"DPR ini salah satu instrumen yang menggodok dan melahirkan UU, itu legal. Tapi karena di DPR juga banyak kepentingan lain, banyak peraturan perundang-undangan yang tidak berkualitas," kata Subiyanto.

Baca Juga: Didominasi Perempuan, Perselingkuhan Akibat LGBT Bikin Kasus Perceraian Kian Meningkat

Sementara itu, Ketua Umum FSPTSK SPSI, Roy Jinto menyebut, dalam RUU Cipta Kerja yang sedang digodok, hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). Sementara, Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) akan dihapuskan. Menurut dia, dalam RUU itu pesangon juga akan dipangkas dari 36 menjadi 19 bulan. Karena itu, Roy menilai jika Omnibus Law Cipta Kerja ini disahkan, nasib dan pendapatan buruh akan semakin menurun.

"Pesangon dikurangi, gajinya (buruh) kecil, kemudian nanti hanya ada UMP. UMP berlaku di DKI Jakarta, tapi di Jawa Barat, di Banten, Jawa Timur, dan provinsi lain, yang berlaku adalah UMK. Nanti enggak ada UMK, yang ada UMP,” ucap dia.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani mengungkap tidak ada pembahasan jelas terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Hal itu lah yang kemudian menurut Andi yang menjadi alasan para serikat buruh masih berdemo menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Baca Juga: Upaya Penurunan Status Taman Nasional Gunung Ciremai karena Soal PAD Tidak Realistis

"Kenapa masih akan terjadi gejolak di buruh Indonesia? karena dari awal seperti ada yang disembunyikan. Seluruh konfederasi buruh bertanya kepada saya, 'anda konfederasi buruh pendukung presiden kok nggak punya draf'. Akhirnya bertanya-tanya ada apa dengan rancangan ini?,” ujar Andi.

Lewat pengumpulan mandiri ini, pihaknya lantas memililki tujuh draf sekaligus yang isinya berlainan semua. Ketidakjelasan ini yang membuat wacana RUU Omnibus Law semakin simpang siur.

Namun, saat ini Andi mengungkap pemerintah telah membentuk tim pengkajian untuk membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dia menyambut baik meski terlambat karena sudah ada penolakan di mana-mana.

Baca Juga: Perizinan Usaha di Indonesia Masih Ruwet, Jokowi Sentil Bahlil Lahadalia

"Kita akan coba untuk membahas dengan teman-teman konfederasi, tapi niat baik pemerintah ini kita sambut baik, tapi terlambat. Karena ketika semua sudah menjadi masalah dan terjadi penolakan di mana-mana, dan tim itu baru dibentuk mengajak buruh," ucap Andi.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat