kievskiy.org

Sanksi Pimpinan KPK Lili Pintauli, Etika dan Hukum Jangan Disamakan

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. /Antara/Akbar Nugroho Gumay

PIKIRAN RAKYAT - Alih-alih semua polemik yang melibatkan KPK diselesaikan secara efektif dan efisiens dengan komunikasi publik yang baik, baru-baru ini, salah satu pimpinan KPK, Lili Pintauli justru dijatuhi sanksi etik berat oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas perbuatan menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan pihak lain yang perkaranya sedang ditangani KPK.

Bahkan, salah satu anggota majelis etik Dewas, Albertina Ho menyebut, perilaku demikian setidaknya “dapat” memunculkan sifat koruptif. Oleh karena itu, sanksi yang dijatuhkan relatif terbilang berat yaitu pemotongan gaji pokok 40 persen selama setahun.

Dewas membeberkan, salah satu poin hasil dialog Lili Pintauli dalam proses sidang etik yang pada pokoknya menyebutkan “dirinya mengakui perbuatan tersebut namun sama sekali tidak menyesali perbutannya.”

Ungkapan itu secara tidak langsung merefleksikan dua algoritma yaitu paradoks rasionalitas penegakan etik dan pemisahan sanksi etik dari sikap etik pejabat akibat standar nilai yang dimiliki.

Baca Juga: Makin Nodai Citra KPK, ICW: Harusnya Dewas Laporkan Kasus Lili Pintauli ke Polisi

Seperti halnya yang berlaku dalam proses hukum, seseorang yang berkeberatan terhadap putusan pengadilan dapat mengemukakan kekecewaannya dan tetap menyatakan bahwa dia tidak salah sama sekali, kendati seseorang tersebut mengakui perbuatannya.

Catatan yang cukup mendasar dari pandangan kedua itu adalah apakah proses penegakan etika sama dengan proses yang berlangsung dalam penegakan sanksi hukum?

Oleh karena itu, tulisan ini mencoba secara sederhana menjelaskan kedua algoritma tersebut dengan menguraikan kedudukan etika dan hukum untuk selanjutnya dihubungkan dengan penjatuhan sanksi terhadap Lili Pintauli oleh Dewas KPK.

Etika dan hukum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat