kievskiy.org

BOS dan Pasal 31 UUD, Jangan Lenyap Dijarah Pejabat Maling Uang Rakyat

Siswa belajar di lantai tanpa bangku dan meja belajar di SD Negeri Gelam 2 di Kampung Cigelam, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Banten, Kamis 2 September 2021.
Siswa belajar di lantai tanpa bangku dan meja belajar di SD Negeri Gelam 2 di Kampung Cigelam, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Banten, Kamis 2 September 2021. /Antara/Asep Fathulrahman

PIKIRAN RAKYAT - Awal tahun ajaran baru sudah dimulai. Segala persiapan terutama yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar di tengah pandemi Covid-19 terus dilakukan semua pemangku kepentingan dunia pendidikan. Persiapan itu termasuk semua hal yang berkaitan dengan pembiayaan operasional sekolah.

Perbincangan di awal tahun pelajaran yang kerap muncul ke permukaan adalah terkait BOS (bantuan operasional sekolah). BOS dengan segala pernak-pernik masalahnya turut mewarnai sejarah pendidikan di Indonesia.

BOS muncul karena keprihatinan pemerintah pusat terhadap dunia pendidikan di Indonesia seiring dilaku­kannya UU Otonomi Daerah pada 2001.
 
Pemberlakuan otonomi daerah menyebabkan urusan pendidikan ­diserahkan ke pemerintah daerah kota/kabupaten ­de­ngan provinsi sebagai koordinator.
 
 
Pemerintah saat itu hanya mengurusi soal standar, norma, prosedur, dan kebijakan terkait pendidikan. Sementara urusan SDM, anggaran, dan aset, diserahkan ke daerah.

Perubahan tersebut ternyata tidak semanis yang dibayangkan. Banyak pemerintah daerah yang tidak sanggup memenuhi peran tersebut terutama soal pembiayaan.
 
Karena pendidikan harus tetap berjalan, pembiayaan akhirnya dikembalikan ke masyarakat dalam hal ini orangtua murid yang harus membiayai sebagian besar proses belajar-mengajar.
 
Dengan kondisi masyarakat yang tidak merata secara penghasilan, gap antara sekolah orang mampu dan sekolah orang tidak mampu yang berjalan seadanya pun makin curam.
 
Juli 2005 BOS pertama kali diluncurkan agar operasional sekolah setidaknya memenuhi standar pelayan­an minimal.
 
 
Seiring berjalannya waktu, BOS pun de­ngan segala perubahannya terus mendampingi kegiat­an belajar mengajar terutama di awal tahun pelajaran.
 
Kini di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim, BOS kembali diluncurkan. Satu terobosan yang dilakukan Nadiem terkait BOS adalah menya­lurkan langsung dana BOS ke rekening sekolah.
 
Sebelumnya, BOS diberikan melalui jenjang Dinas Pendidikan di provinsi maupun kota/kabupaten.
 
Kini, perubahan juga dilakukan dalam aturan lain BOS dan menjadi pemberitaan karena adanya penolakan dari beberapa lembaga yang menjadi legenda dunia pendidikan di Indonesia.
 
Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler dan Surat Edaran Dirjen PAUD Dikdasmen Nomor 10231/C/DS.00.01/ 2021 tentang Pembaruan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler ditolak oleh Nahdlatul Ulama, Muhammadi­yah, Taman Siswa, dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik.
 

Hal krusial yang menjadi pokok penolakan lembaga-lembaga yang sudah tidak diragukan lagi sumbangsihnya untuk dunia pendidikan, bahkan sebelum Indonesia merdeka, terkait Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler.
 
Dalam aturan terbaru itu tertulis penerima dana BOS reguler ­memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir.
 
Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud­ristek Anang Ristanto dalam pemberitaan beberapa media menyebutkan alasan aturan yang sebetulnya sudah ada sejak 2019.
 
”Permendikbud tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan melakukan penggabungan sekolah-sekolah yang peserta didiknya terlalu sedikit, karena jumlah peserta didik yang rendah merupakan penanda bahwa para orangtua menganggap kualitas layanan dari sekolah-sekolah tersebut tidak sesuai harapan,” ujar Anang.
 
 
Bahkan, Anang juga menyebut, jika BOS terus diberikan kepada sekolah-sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, akan menyebabkan pemborosan anggaran negara.
 
Di sisi lain, alasan yang dikemukakan oleh kalangan pendidik NU, Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik, sangat masuk akal.
 
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah Sungkowo Mudjiamano dan Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU Z Arifin Junaidi sepakat, aturan main tersebut bertolak belakang ­dengan apa yang digariskan dalam UUD 1945.  
 
Pada Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 hasil amendemen menyebutkan, ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
 
Sementara di ayat 2 tersurat, ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
 
Dengan demikian, membiayai sekolah dengan jumlah murid yang tidak terlalu banyak bukanlah suatu pemborosan anggaran negara karena itu adalah kewajiban pemerintah.
 
Jangan sampai uang negara diirit untuk membiayai kewajiban kepada rakyatnya, tetapi pada akhirnya lenyap dijarah maling dari kalangan ­pejabat sendiri.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat