PIKIRAN RAKYAT - Tahun 2020, harga kedelai di tingkat konsumen sekira Rp8.500 per kg. Memasuki tahun 2021, naik menjadi Rp10.000 per kg di tingkat konsumen. Awal 2022, harga kedelai menyentuh Rp11.000 per kg.
Produsen tahu dan tempe pun kembali menjerit. Ancaman mogok produksi mengemuka. Opsi lainnya, tetap memproduksi tetapi harga dinaikkan. Namun, itu opsi yang harus dipikir sangat keras karena bisa saja merugi gara-gara konsumen enggan membeli seiring harga tempe dan tahu yang tinggi.
Bagi warga Indonesia, tempe dan tahu adalah sumber protein bergizi tinggi yang murah meriah. Pendek kata, tahu dan tempe adalah makanan rakyat. Terbukti, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019, rata-rata penduduk Indonesia mengonsumsi 0,15 kg tahu dalam sepekanserta 0,14 kg tempe dalam sepekan.
Hanya, hampir 90 persen bahan baku utamanya yaitu kedelai, masih diimpor. Tahun 2020, impor kedelai mencapai 2,48 juta ton. Kedelai-kedelai itu diimpor dari Brasil, Argentina, dan Amerika Serikat.
Wajar saja karena produksi kedelai dalam negeri masih jauh dari kebutuhan. Malah, dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), produksi kedelai turun setengahnya dari 900.000 ton (2010) menjadi 424.000 ton (2019).
Salah satu penyebabnya, luas lahan tanam yang tergerus karena alih fungsi dari 660.000 hektare (2010) menjadi 285.000 hektare (2019).
Hal itu menjadi atensi pemerintah. Pada 2013 saat era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, muncul program 1 juta hektare lahan untuk produksi kedelai.
Kala itu, program 1 juta hektare lahan kedelai tersebut menjadi gerakan bersama Kemenakertrans dan Kementerian Pertanian.