kievskiy.org

Sejatinya Sekolah itu Menyenangkan

Ilustrasi siswa di sekolah.
Ilustrasi siswa di sekolah. /Antara/Adeng Bustomi

PIKIRAN RAKYAT - Memanfaatkan waktu luang, bersenang-senang, seraya mendapat pengetahuan sebagai bekal mengarungi kehidupan nyata merupakan kebiasaan para tokoh Yunani kuno. Biasanya mereka berkumpul di rumah sesepuh yang dianggap berpengetahuan mumpuni untuk belajar beragam ilmu pengetahuan. Mereka menyebut kegiatan ini dengan istilah scola atau scolae.

Dalam perkembangannya, kata scola atau scolae diadopsi beragam bahasa menjadi schola (bahasa Latin), school (bahasa Inggris), dan sekolah atau sakola (bahasa Indonesia). Selain kata-katanya, sekolah-sekolah pada saat ini pun mengadopsi asas-asas pengajaran dari scola Yunani kuno. Sayangnya, asas menyenangkan dan memanfaatkan waktu luang nyaris tidak ada lagi dalam sistem pengajaran di sekolah-sekolah pada saat ini. Sebaliknya, pengajaran di sekolah nyaris merampas waktu luang, bermain, dan istirahat peserta didik.

Demikian pula halnya dengan riang gembira ketika belajar juga nyaris terampas. Sebaliknya, kekhawatiran kerap singgah di hati para orang tua dan peserta didik. Betapa tidak, pada saat ini dunia pendidikan/persekolahan kita ternodai dengan perilaku tak terpuji yakni  dengan munculnya beberapa kasus perundungan dan pelecehan seksual. Setali tiga uang dengan dua hal tersebut, kerap muncul pula sikap intoleran terhadap perbedaan suku, ras, dan agama.

Baca Juga: Dikotomi dan Stigma dalam Pendidikan di Indonesia

Sekolah yang pada masa Yunani kuno benar-benar memegang teguh prinsip almamater (ibu asuh yang memberikan ilmu dan kasih sayang); scholae matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu); dan scolae in loco parentis (lembaga pengasuh anak, di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu), kini mulai terancam. Almamater hanya menjadi slogan indah yang  bermakna, namun miskin dari implementasinya yang ideal.

Selain itu, pada sistem scolae Yunani kuno, paideia wajib menjadi pedoman dalam melaksanakan pengajaran. Pedoman ini bermakna pendidikan merupakan upaya menyelaraskan jiwa dan raga, bukan sekadar mengasah kecerdasan otak. Pada perkembangannya, kini paideia menjadi pedagogik, bagian dari ilmu pendidikan yang wajib dikuasai para pendidik dalam berbagai jenjang pendidikan. Kini, prinsip ini pun menjadi tujuan asasi yang tercantum dalam pasal 3 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 yang jika disimpulkan, tujuan asasi dari pendidikan nasional adalah menyelaraskan otak, akhlak, dan watak yang diistilahkan dengan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Namun dalam realitanya, kognitif menjadi tujuan tertinggi yang ingin diraih dunia pendidikan dan masyarakat. Peraihan prestasi berupa deretan nilai-nilai berbentuk angka, selembar ijazah, gelar, dan kepopuleran lembaga pendidikan sering meraup porsi terbesar dalam dunia pendidikan, hamper-hampir mengenyampingkan sisi afektif dan psikomotorik.

Baca Juga: Restorasi Pendidikan agar Tak Berbuah Kekerasan

Jika kondisi ini dibiarkan, dikhawatirkan dunia pendidikan hanya akan melahirkan orang-orang yang otaknya penuh dengan pengetahuan, namun tak memiliki kemampuan dan kebaikan dalam hal akhlak dan watak. Hal inilah yang beberapa puluh tahun lalu dikhawatirkan Dr. Benjamin E. Mays, Rektor Morehouse  College, Georgia. “Kita memiliki orang-orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang lebih banyak. Namun kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang berpenyakit... Bukan pengetahuan yang kita butuhkan, kita sudah memiliki banyak pengetahuan. Kemanusiaan kita sedang membutuhkan sesuatu yang  bersifat spiritual.”

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat