kievskiy.org

Buta Terburuk adalah Buta Politik

Ilustrasi politik.
Ilustrasi politik. /Freepik

PIKIRAN RAKYAT - Dalam sebuah sidang rencana riset calon doktor di sebuah universitas yang kebetulan topik disertasinya menyoal komunikasi politik, saya sempat tercengang ketika salah seorang promotor menyatakan bahwa sebetulnya dia tidak suka politik dan baginya politik itu membuatnya cape. Keterkejutan saya cukup beralasan, mengingat yang berbicara adalah seorang dosen yang sedang tipoporose (berusaha dengan berbagai cara) untuk menjadi Guru Besar. Bagaimana mungkin seseorang yang sangat ingin menjadi guru besar yang surat keputusannya membutuhkan tanda tangan presiden, yang notabene presiden itu merupakan wujud nyata hasil dari proses politik elektoral, memiliki pandangan sempit seperti itu. Bagaimana bisa senaif itu seorang pendamba gelar profesor menafikan politik sebagai sebuah realitas yang terlepas dari dirinya sebagai warga negara? Bukankah sebagai anggota masyarakat selama ini dirinya dapat nyaman menikmati berbagai fasilitas kehidupan sehari-hari karena fasilitas tersebut dinaungi oleh berbagai regulasi hasil proses politik? tidak ada satupun aspek kehidupan manusia di suatu negara yang tidak tergantung pada keputusan politik, terlepas apakah regulasi tersebut menguntungkan segelintir kelompok elit dan akibatnya jadi merugikan rakyat banyak, tetap saja itu adalah keputusan politik. Itu sebabnya, dalam negara demokrasi, untuk menciptakan kehidupan bernegara yang adil dan sejahtera, diperlukan adanya partisipasi politik dari setiap warga negara untuk mengawal proses politik alih-alih menyatakan tidak suka politik.

Apolitis

Pandangan bahwa politik itu kotor, jahat, penuh dusta dan licik memang seolah menjadi pandangan generik masyarakat awam, walaupun tetap disayangkan jika itu ditemukan di kalangan masyarakat terdidik seperti masyarakat akademik. Fenomena inilah yang seringkali disebut sebagai perilaku apolitis, seperti dinyatakan Liddle dalam bukunya Politik Indonesia: Demokrasi dan Otoritarianisme, yang mengulas tentang sejarah dan perkembangan politik Indonesia dari masa kolonial hingga reformasi, termasuk fenomena apolitisasi masyarakat di bawah rezim Orde Baru.

Secara teoretis pengertian "a-politis" merujuk pada suatu sikap atau kondisi di mana seseorang atau kelompok orang tidak terlibat dalam atau tidak tertarik pada urusan politik. Seseorang atau kelompok yang bersikap apolitis cenderung menghindari atau tidak ambil bagian dalam aktivitas politik, seperti pemilihan umum, diskusi politik, kampanye politik, atau keanggotaan dalam partai politik. Mereka mungkin merasa tidak berminat, tidak peduli, atau merasa bahwa urusan politik tidak relevan atau tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung.

Baca Juga: Generasi Muda dan Politik: Mengapa Minat Berkurang?

Sikap apolitis bisa bervariasi dari orang ke orang dan bisa bersifat sementara atau permanen. Beberapa orang mungkin memilih untuk tetap a-politis sebagai bentuk protes terhadap sistem politik atau karena merasa putus asa terhadap politik. Di sisi lain, ada juga yang lebih memilih untuk fokus pada kehidupan pribadi, keluarga, atau kepentingan lain di luar politik. Sikap apolitis tidak selalu dianggap positif atau negatif, tetapi penting untuk diingat bahwa partisipasi dalam proses politik adalah hak dan tanggung jawab setiap warga negara dalam sistem demokrasi. Bagi sebagian orang, keterlibatan politik adalah cara untuk memengaruhi kebijakan publik dan mencapai perubahan yang diinginkan dalam masyarakat. Sikap apolitis dapat dianggap sebagai bentuk apatisme politik.

Apatisme Politik

Apatisme politik merujuk pada ketidakpedulian atau ketidakberminatan dalam urusan politik, yang dapat mencakup ketidakinginan untuk terlibat dalam proses politik, mengikuti berita politik, atau berpartisipasi dalam pemilihan umum. Ketika seseorang atau kelompok bersikap apolitis dan tidak tertarik pada urusan politik, hal ini menunjukkan tingkat apatisme politik yang tinggi. Mereka mungkin merasa bahwa politik tidak relevan, tidak dapat dipercaya, atau tidak berdampak pada kehidupan mereka secara signifikan. Menurut Bobbio (1987) dalam McNair (2015), salah satu janji penting demokrasi yang tidak ditepati adalah gagalnya sistem pendidikan dalam menghasilkan pemilih yang rasional, dan ini tercermin dalam sikap apatisme politik.

Buta Politik

Apatisme politik merupakan respons ketika pemilih menganggap suaranya tidak ada artinya. memang, setiap orang memiliki hak untuk bersikap politik yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai pribadi mereka, tetapi bersikap apolitis bukan satu-satunya pilihan dalam kehidupan bernegara, kalaupun tidak bisa aktif berpartisipasi dalam mengawal berbagai proses politik setidaknya jangan sampai buta politik. Karena seperti yang disindir Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman yang hidup di abad ke-19, dalam salah satu puisinya, buta yang terburuk adalah buta politik,

“Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat semuanya bergantung pada keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar, “Aku Benci Politik! Sungguh bodoh dia yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya pelacuran, anak terlantar, perampokan dan yang terburuk, korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri." (Brecht, Penyair & Filosof asal Jerman).

Semoga menghadapi Pemilu 2024 nanti tidak ada lagi yang buta politik. Cag. (Evie Ariadne S Dewi - Peneliti dan Dosen di Fikom Universitas Padjadjaran)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat