kievskiy.org

78 Tahun Kemerdekaan RI: Merdeka dari Apa?

Logo HUT ke-78 Kemerdekaan RI.
Logo HUT ke-78 Kemerdekaan RI. /Setkab

PIKIRAN RAKYAT - Bulan Agustus berkaitan dengan perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia. Bendera merah putih dan aneka umbul-umbul terpasang berkibar di seantero nusantara. Berbagai jenis perlombaan digelar memeriahkan kemerdekaan dan malam tirakatan diselenggarakan dengan memanjatkan doa sebagai bentuk syukur dan pengharapan kebaikan untuk bangsa. Dalam nuansa perayaan Kemerdekaan RI ke-78, terbesit sebuah pertanyaan dari rakyat, apa benar kita sudah merdeka? Secara de facto kita memang sudah merdeka dari penjajahan asing, tetapi secara nyata kemerdekaan dalam arti sebenarnya belum kita rasakan.

Katanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, nyatanya yang kaya tambah kaya, yang melarat kian sekarat! Kebenaran tunduk pada uang, pelanggaran HAM sembunyi di balik kekuasaan, kemajemukan terkoyak intoleransi, otonomi makin kebablasan, dan reformasi kehilangan arah. Yang ada, 78 tahun perjalanan kemerdekaan merebaknya “penjajah” gaya baru yang berkontribusi dalam menempatkan makna dan cita-cita kemerdekaan di titik nadir.

Momen peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus setiap tahun hanya sebatas seremonial. Bendera merah putih senantiasa dikibarkan di depan rumah, instansi pemerintah, lembaga pendidikan hingga di puncak gunung dan dasar lautan. Pengecatan gapura dan jalan serentak dilakukan hingga malam tirakatan. Tetapi, setelah semuanya berlalu, bangsa ini kembali dalam realitas hidup yang sebenarnya. Bangsa ini kembali ke dalam segudang persoalan yang tidak kunjung usai.

Baca Juga: Konflik Kepentingan TPA Sarimukti Cerminan Interaksi Rumit antara Sosial, Ekonomi, dan Politik

Melihat kehidupan masyarakat yang nyata dihadapi dalam kesehariannya, tidak berlebihan bila kemerdekaan yang diraih bangsa ini selama 78 tahun dengan penuh pengorbanan jiwa dan raga belum memberi kemerdekaan yang diharapkan. Perwujudan cita-cita untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 serta semangat juang para pendiri bangsa kini hanya menjadi tulisan dan slogan tanpa makna.

Tatkala sekarang ini sering kali terdengar pekik “merdeka!” di panggung kampanye yang ditujukan pada bangsa sendiri, yang terjadi adalah semangat kebangsaan sebagian dari warga bangsa ini terkalahkan oleh keserakahan atas kedudukan, jabatan, dan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan. Makna dan ruh nasionalisme telah luntur bahkan dibajak oleh rezim untuk komoditas politik dan tameng melanggengkan kekuasaan yang korup dan otoriter.

Deskripsi tersebut hanya secuil fakta akibat kompleksitas permasalahan yang membelenggu bangsa ini. Terpenting di sini adalah apa sesungguhnya yang menjadi akar permasalahan yang menerpa bangsa hingga usia ke-78 ini belum mampu meningkatkan pemerataan derajat kesejahteraan dan kemakmuran secara berkeadilan layak diurai. Pertama, lunturnya nilai-nilai nasionalisme (patriotisme). Hemat saya, akar persoalan bangsa terletak pada lunturnya nilai nasionalisme. Harapan meraih cita-cita luhur untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur serta semangat para pejuang dan para pendiri bangsa kini hanya menjadi simbol belaka. Hal itu tercermin dari drama para elite yang berebut jabatan dan pelbagai upaya mempertahankan kekuasaan.

Baca Juga: Cerita Guru di Perbatasan Indonesia-Timor Leste, Sekolah Cuma Punya 2 Toilet untuk 500 Siswa

Kedua, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara belum sepenuhnya dijalankan dengan sempurna. Pancasila belum menjadi rujukan dalam ucapan, tindakan, dan penyelenggaraan pemerintahan. Pembangunan bangsa belum sepenuhnya berpijak pada Pancasila. Gerak dan napas bangsa ini masih jauh dari jiwa Pancasila yang hakiki yaitu masyarakat yang religius (bertakwa), berperikemanusiaan, punya jiwa nasionalisme, demokratis, dan sejahtera-berkeadilan lahir dan batin. Perlu ditegaskan, jika ingin bangsa bahagia, maka jalankan Pancasila secara baik dan benar.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat