kievskiy.org

Revolusi Mental Sejati

Ilustrasi politik dinasti, oligarki, dan nepotisme.
Ilustrasi politik dinasti, oligarki, dan nepotisme. /Pikiran Rakyat/Fian Afandi Pikiran Rakyat/Fian Afandi

PIKIRAN RAKYAT - Yuval Noah Harari (2015) melukiskan, manusia bertahan hidup dan menguasai dunia karena kemampuan komunikasi mereka yang unik. Mereka memilah, menyimpan, dan menggunakan informasi bermanfaat guna mengambil keputusan yang tepat untuk bekerja dan maju bersama. Untuk membangun Indonesia, pandangan Harari juga relevan. Dalam konteks ini, meritokrasi perlu ditegakkan: Siapa yang terbaik, punya integritas dan kapabilitas, dialah yang harus dipilih jadi pemangku kepentingan. Sayangnya, seperti dilaporkan sebuah surat kabar nasional pada Jumat, 15 September 2023, perekrutan para pejabat strategis di kementerian, lembaga dan BUMN masih berbau KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Dalam komunikasi politik di era Jokowi, suatu kecenderungan antimeritokrasi adalah politik dinasti, yakni penempatan anggota keluarga untuk menduduki jabatan. Di ranah eksekutif, berdasarkan Pilkada 2020, dari 24 kepala daerah di bawah usia 40 tahun termasuk Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, 18 pejabat berkerabat dengan politisi senior yang sedang atau pernah memiliki jabatan politik, baik di pusat atau di daerah yang kini dipegang para politisi muda tersebut. Di ranah legislatif, Negara Institute menemukan, sebanyak 99 dari 575 anggota DPR RI periode 2019-2024 terpilih berdasarkan politik dinasti.

Politik dinasti di Indonesia berjangkar pada nilai guyub budaya Indonesia (kolektivisme). Pejabat diangkat bukan karena kompetensinya, melainkan karena kekerabatan atau kedekatan. Hubungan atasan-bawahan lebih bersifat moral alih-alih kalkulatif. Pengelolaan bisnis atau politik dijalankan kelompok yang fungsinya bak keluarga. Hubungan lebih signifikan ketimbang tugas itu sendiri. Penyuapan kepada pejabat atau setoran kepada atasan menjadi praktik yang lazim, sebagai “kearifan budaya” untuk merawat hubungan alih-alih sebagai tekornya moralitas. Atasan berperan seperti orangtua, melindungi bawahan yang berperan sebagai anak, seburuk apa pun kinerja bawahan. Tak heran, pejabat enggan mundur, meski ia tak berprestasi atau melanggar sumpah jabatan. Ia merasa atasanlah yang harus memundurkannya.

Baca Juga: Gerakan Intoleransi Memanfaatkan Demokrasi Ancam Kebinekaan, Masyarakat Jangan Terkecoh

Literatur menyebutkan, masyarakat guyub ditandai dengan leburnya tujuan pribadi dengan tujuan kelompok. Mereka tak bisa memisahkan secara tegas antara hubungan kekerabatan atau pertemanan dengan hubungan bisnis atau politik. Untuk bertahan hidup, mereka bergantung pada kelompok, terutama pemimpinnya, bukan pada diri sendiri seperti dalam budaya individualis di Barat. Tindakan sosial cenderung seragam, mengikuti aturan kelompok, bahkan dalam berbusana. Korupsi pun dilakukan secara berjemaah. Walhasil, dalam masyarakat guyub, identitas diri tidak otonom, melainkan menyatu dengan identitas kelompok (keluarga, klan, partai, suku bangsa, dsb.). Keberhasilan atau kegagalan individu adalah keberhasilan atau kegagalan kelompok.

Karena terobsesi untuk menjaga harmoni, manusia kolektivis cenderung bermuka dua. Mereka menghindari konflik terbuka dengan berkomunikasi konteks-tinggi yang ditandai dengan bahasa yang ambigu dan basa-basi. Mereka tidak lugas, antara lain dengan bermain politik dua kaki. Di depan, mereka seolah setuju, tetapi di belakang belum tentu. Politik wara-wiri menjelang Pemilu 2024 ini adalah indikasi komunikasi konteks-tinggi. Sebagai bawahan, mereka suka menyenangkan atasan, termasuk dengan memberikan informasi yang keliru. Perselisihan dalam masyarakat guyub, bahkan di antara para tokohnya, cenderung berlarut-larut, karena mereka tak terbiasa berbeda pendapat dan mengelola konflik.

Kontras dengan manusia individualis yang hanya merasa harus membantu keluarga inti, manusia kolektivis merasa juga harus membantu keluarga luas, kerabat jauh, bahkan teman sekampung, dengan mencarikan pekerjaan meski tak sesuai dengan keahliannya. Pengamatan Geert Hofstede (1983) masih aktual: dalam masyarakat guyub, seorang anggota keluarga yang sukses merasa wajib menolong kerabat atau konconya dengan memberi perhatian, waktu, uang, dan jabatan (politik) yang secara finansial menguntungkan. Pemenuhan atas kebutuhan kelompoknya memberi mereka kepuasan.

Baca Juga: Pemilu di Depan Mata, Jawa Barat di Mana?

Kontras dengan aspek budaya fisik yang kasat mata, sebagai nilai budaya tak kasat mata, kecenderungan guyub dalam arti negatif (nepotisme) ini tidak bisa kita bongkar secepatnya. Hanya bila para pemimpin bangsa bertekad kuat untuk mengikisnya secara bertahap, kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045. Sebagai ujian pertama ke arah itu, kita harus menginisiasi upaya tersebut dalam Pilpres, Pileg, dan Pilkada 2024, dengan memilih presiden/wakil presiden, wakil rakyat, dan kepala daerah yang cakap berkomunikasi dan pro meritokrasi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat