kievskiy.org

Dialektika Politik Dinasti

Ilustrasi politik.
Ilustrasi politik. /Pixabay/SteenJepsen Pixabay/SteenJepsen

PIKIRAN RAKYAT - Dalam opini Prof. Deddy Mulyana, yang berjudul “Revolusi Mental Sejati” (Pikiran Rakyat, 26 September 2023), disebutkan bahwa dalam komunikasi politik di era pemerintahan sekarang, suatu kecenderungan antimeritokrasi (politik dinasti), yakni penempatan anggota keluarga untuk menduduki jabatan.

Di ranah eksekutif, berdasarkan Pilkada 2020, dari 24 kepala daerah di bawah usia 40 tahun, 18 pejabat berkerabat dengan politisi senior yang sedang atau pernah memiliki jabatan politik, baik di pusat atau di daerah yang kini dipegang para politisi muda tersebut. Di ranah legislatif, Negara Institute menemukan, sebanyak 99 dari 575 anggota DPR RI periode 2019-2024 terpilih berdasarkan politik dinasti.

Artikel ini menjadi satu inspirasi yang sangat menarik untuk dipahami dan dikaji lebih jauh dengan nalar nan jernih. Kita pahami bersama bahwa pada dasarnya, NKRI sebagai negara merdeka dan berdaulat, sejak awal kemerdekaan 1945 menegaskan pentingnya demokrasi “Pancasila”.

Termasuk diperkuat dengan hadirnya UU No. 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam Pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Baca Juga: Gerakan Intoleransi Memanfaatkan Demokrasi Ancam Kebinekaan, Masyarakat Jangan Terkecoh

Akan tetapi, dalam perjalanannya, nasib demokrasi senantiasa mengalami distorsi luar biasa, termasuk penafsiran dan implementasi para elite kuasa dari pusat sampai daerah yang lebih mementingkan politik dinasti, politik kekerabatan dan atau politik “kerajaan”. Demokrasi hanya wacana di atas kertas yang penuh dengan retorika yang “berbusa-busa”. Pendulum demokrasi semakin bias makna dan ambigu, dan ironisnya yang lebih mengemuka adalah model politik dinasti. Alih-alih tak ada opsi “perlawanan” kritis dari warga masyarakat di luar relasi kuasa.

Politik Dinasti

Tak dipungkiri lagi, politik dinasti menjadi model dan atau gaya para elite negeri untuk menjalankan roda kekuasaannya, dan sekaligus “memanipulasi” dan atau membenamkan yang namanya demokrasi, dan hal ini sudah lama berlangsung. Semua terjebak menjadi insan oportunis dan atau petualang politik yang teramat pragmatis, karena hasrat kuasa yang lebih dominan, nyaman serta menjanjikan dari berbagai kepentingan sosial dan ekonomi, termasuk jabatan dalam birokrasi.

Praktik politik dinasti yang sangat masif, pastinya telah “mematikan” meritokrasi secara gamblang dan nyata. Di sisi lain, meritokrasi merupakan sebuah sistem sosial yang memengaruhi kemajuan dalam masyarakat berdasarkan kemampuan dan prestasi individu daripada basis keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial (Kim and Choi, 2017).

Beberapa studi memaknai meritokrasi sebagai kondisi yang menghadirkan kesempatan yang sama kepada semua individu dalam masyarakat untuk menduduki suatu posisi atau jabatan di publik (Lipsey, 2014; Martin et al, 2014; Au, 2016).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat